Hal pertama yang saya lakukan ketika mendapati kondisi bahwa saya terpapar COVID-19 adalah mencari obat atau vitamin yang membantu penyembuhan. Walaupun, kondisi sudah vaksinasi lengkap dan booster akan membantu, namun kalau memang ada tambahan obat atau vitamin, kenapa tidak?
Saya hanya pernah membaca pengalaman mereka yang pernah mencoba mendapatkan paket layanan telemedisin dari Kementerian Kesehatan RI. Ada yang bilang lancar, ada yang bilang lambat. Dan, saya putuskan untuk mencoba mendapatkannya.
Berbekal NIK ini, akan ditentukan apakah hasil pemeriksaan sudah ada ada dalam database layanan ini atau belum. Saya masukkan NIK saya, ternyata NIK saya ditemukan, lengkap dengan status bahwa saya masuk dalam kriteria untuk mendapatkan layanan telemedisin.
Sesuai instruksi, saya lakukan konsultasi secara daring melalui aplikasi. Saya pakai aplikasi Halodoc, karena beberapa opsi yang sudah ada, Halodoc memang cukup sering saya gunakan.
Tapi, terlepas dari kejadian ini, tetap bersyukur karena kami — yang dewasa — semua sudah mendapatkan vaksinasibooster. Anak kami yang usia 3,5 tahun juga dalam keadaan baik, bahkan masih tetap ceria, napsu makan juga sangat baik, dan tidak rewel. Jadi, anak malah seperti tidak ada gejala sama sekali.
Rilis dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengenai varian Omicron XBB
Gejala yang dialami saya dan istri kurang lebih sama. Tanda-tanda gejala pada varian Omicron XBB berikut beberapa kami rasakan:
Demam atau menggigil
Batuk
Sesak napas atau napas singkat
Badan lemas dan mudah lelah
Nyeri otot dan tubuh
Sakit kepala
Kehilangan indera perasa atau penciuman
Sakit tenggorokan
Pilek atau hidung tersumbat
Mual atau muntah
Diare
Dari gejala tersebut, yang saya dan istri rasakan paling dominan adalah sakit kepala (ini terasa sekali), demam, nyeri otot dan tubuh. Selain itu batuk juga ada sedikit. Indera perasa (lidah) juga terasa menjadi pahit, walaupun tidak sampai kehilangan kemampuan menyium bau atau rasa. Istri ada sakit tenggorokan dan batuk.
Walaupun pandemi COVID-19 belum dikatakan usai, namun melihat tren kasus, dan bagaimana kegiatan sehari-hari berjalan dengan “lebih baik”, rasanya melegakan sekali. Keluarga saya hampir semua sudahvaksinasi COVID-19 dua kali dan satu kali booster, kecuali anak saya yang baru tiga tahun. Semoga bisa segera juga bisa vaksinasi.
Namun, sepertinya kewaspadaan terutama terkait dengan penyakit yang “baru” harus tetap dijaga. Ya, terkait hepatitis akut (dan) misterius. Akut karena dinilai membahayakan dan sudah ada korban jiwa, misterius karena belum diketahui pasti penyebabnya.
Penyakit hepatitis akut ini belum diketahui penyebabnya. Kasus pertama kali ditemukan di Inggris Raya 5 April 2022. Setelahnya, dilaporkan terjadi peningkatan kasus di Eropa, Asia, dan Amerika
Pada 15 April 2022, WHO menetapkan penyakit Hepatitis Akut sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa).
Di Indonesia sendiri, dalam kurun waktu 2 minggu hingga 30 April 2022, terdapat tiga dugaan kasus pasien anak Hepatitis Akut meninggal setelah mendapatkan perawatan intensif di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta (Sumber)
Penyakit Hepatitis Akut menyerang anak usia 0-16 tahun, paling banyak anak usia di bawah 10 tahun.Virus ini sangat berbahaya, beberapa anak dilaporkan meninggal, bahkan 17 dari 170 anak dengan Hepatitis Akut membutuhkan transplantasi hati. (Sumber)
Belum diketahui secara jelas penyebab Hepatitis Akut, namun diduga berasal dari Adenovirus 41, SARS CoV-2, virus ABV dll. Adenovirus umumnya menular lewat saluran cerna dan saluran pernafasan. Cara penularan melalui droplet, air yang tercemar & transmisi kontak. (Sumber)
Gejala awal Hepatitis Akut adalah gangguan gastrointestinal seperti sakit perut, mual, muntah, diare & kadang disertai demam.
Gejala bisa berlanjut jadi lebih parah ketika urine berwarna seperti teh, BAB putih pucat, kulit & mata kuning, bahkan sampai penurunan kesadaran. (Sumber)
Secara prinsip, pola dan gaya hidup sehat menjadi komponen yang sangat penting. Hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan selama pandemi COVID-19 sepertinya sangat masuk akal untuk terus diterapkan.
Untuk anak saya, kebiasaan selalu cuci tangan dan kaki kalau habis bermain di luar, dan mandi setelah bepergian, jelas sangat baik. Walaupun sekarang sudah lebih longgar untuk bepergian, tapi lebih baik tetap lebih selektif lagi.
Pemerintah melonggarkan syarat pelaku perjalanan domestik. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah menghapus syarat tes Covid-19Polymerase Chain Reaction (PCR) dan antigen bagi pelaku perjalanan darat, laut, dan udara di dalam negeri yang sudah menerima vaksincorona dosis lengkap.
Masih terkait dengan kebjiakan tersebut, dari sumber artikel yang sama ada beberapa hal lainnya:
Kapasitas kompetisi olahraga dilonggarkan. Seluruh kegiatan kompetisi olahraga dapat menerima penonton yang sudah menerima vaksinasi Covid-19 dosis tambahan atau booster.
Terkait dengan kegiatan tersebut, pengunjung wajib menggunakan aplikasi PeduliLindungi.
Kapasitas penonton/pengunjung akan didasarkan pada penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di masing-masing wilayah.
Sebagian diri saya menyetujui kebijakan ini, tapi sebagian lagi juga kurang setuju karena walaupun prosentase vaksinasi semakin meningkat — termasuk pemberian dosis ketiga/booster — tapi angka kematian cukup tinggi.
Saya setuju dalam konteks supaya pergerakan masyarakat terutama untuk roda perekonomian tetap berjalan. Bukan hanya bagi mereka yang punya usaha, tapi bagi karyawan/pekerja ini juga sebuah ‘kemudahan'. Dalam melakukan perjalanan yang membutuhkan tes PCR atau antigen, tentu jadi ada penambahan biaya, dan jumlahnya otomatis tidak kecil.
Beruntung kalau biaya ini bisa dibebankan kepada pihak lain (perusahaan, misanya), kalau tidak?
Sedikit kurang setuju dengan kebijjakan ya mungkin karena kasus masih cukup tinggi. Bagi yang sudah mendapatkan vaksinasi dua dosis, efek apabila terkena COVID-19 cenderung tidak terlalu parah. Namun, bisa jadi kebijakan ini memiliki peran penambahan kasus menjadi signifikan.
Artinya, jumlah kasus naik, lebih banyak masyarakat yang perlu isolasi mandiri, yang otomatis bisa jadi kegiatan perekonomian akan terpengaruh kembali.
Sepertinya, hidup berdampingan dengan COVID-19 ini sudah semakin terasa. Semoga kondisi tetap untuk saling jaga dan waspada dengan protokol kesehatan di level pribadi tetap berjalan.
Saya memilih untuk melakukan registrasi di tempat yang sama yaitu di RS Siloam Yogyakarta. Tidak ada alasan khusus, tapi karena saya mendapatkan pengalaman yang baik sebelumnya di sana.
Saat ini sudah melakukan registrasi, dan menurut informasi, untuk jadwal akan menunggu pemberitahuan/undangan. Semoga dalam waktu dekat sudah mendapatkan giliran. Menurut informasi, rencana akan mendapatkan setengah dosis Pfizer.
Update: Informasi terbaru, vaksinasi dosis ketiga dapat diterima setelah 3 (tiga) bulan sejak dosis kedua. (Sumber: Kementerian Kesehatan RI)
Akhir Januari ini, saya perlu melakukan perpanjangan masa aktif SIM A milik saya. Saya sempat mencari informasi bagaimana proses perpanjangan SIM di kota Jogjakarta ini. Tetapi, informasinya masih agak membingungkan. Sempat juga banyak baca mengenai perpanjangan SIM secara daring. Dan, beberapa teman juga menginformasikan kalau perpanjangan secara daring ini bisa jalan lancar juga. Tapi, opsi ini sepertinya kurang cocok untuk kondisi saya (saat itu).
Perpanjangan SIM secara daring (online)
Beberapa kondisi yang menjadikan proses perpanjangan SIM secara daring ini menjadi pilihan cocok, apabila:
Masa berakhir/kedaluarsa masih cukup lama. Kalau tidak salah, ini bisa dilakukan bahkan tiga bulan sebelum kedaluarsa. Saya lupa tepatnya.
Tetap harus melakukan tes kesehatan dengan mendatangi dokter/fasilitas kesehatan yang telah ditentukan.
Awalnya saya sempat akan menggukan metode ini. Tapi, saya batalkan karena tetap harus melakukan tes kesehatan juga, dan saat itu tinggal 7 (tujuh) hari sebelum masa kedaluarsa SIM saya. Untuk prosesnya, kalau saya baca-baca di internet, dan juga melalui linimasa media sosial, layanan ini bisa menjadi pilihan. Tinggal ikuti saja prosesnya.
Perpanjangan SIM secara luring (offline)
Ada dua pilihan jika akan melakukan perpanjangan SIM dengan cara ini. Pertama, melalui layanan SIM keliling. Kedua, langsung ke Satpas Polresta Yogyakarta. Ketiga, datang langsung ke SIM Corner. Pilihan pertama sebenarnya bisa menjadi opsi. Kalau mencari di internet/berita, cukup banyak jadwal SIM keliling ini di Jogjakarta.
Karena saya belum tentu dapat hadir sesuai jadwal sesuai antrian di Satpas Polresta Yogyakarta, akhirnya saya juga melihat opsi ketiga: datang langsung ke SIM Corner. Setelah mencari informasi:
Jam buka operasi akan mengikuti jam buka mall, dan kalau kuota sudah terlayani semua, maka layanan selesai. Diperkirakan sekitar jam makan siang harusnya sudah selesai semua. Namun, untuk proses antrian sudah dapat dilaksanakan pagi hari. Tentang pengambilan antrian, saya mendapatkan informasi yang lebih jelas untuk pilihan lokasi yang di Ramai Mall Malioboro.
Kalau merujuk kepada rekomendasi dari Kementerian Kesehatan RI, saya berpotensi untuk mendapatkan 1/2 dosis Moderna atau Pfizer, atau 1 dosis AstraZeneca kembali.
Semoga di akhir Maret 2022 nanti, dapat menerima booster ini. Dan, semoga semua selalu diberikan berkat kesehatan.
Selain membeli obat atau vitamin secara daring melalui situs-situs niaga-el seperti Tokopedia atau Shopee, saya dan istri kadang juga membeli melalui apotek. Dan, sejak pandemi ini membeli secara daring sesekali kami lakukan. Kalau soal kesehatan, puji Tuhan, kami semua sehat, dan jarang sakit.
Kami banyak memanfaatkan Halodoc dan pesan langsung ke apotek-nya dan nanti kirim menggunakan. Tidak ada alasan khusus metode mana yang lebih kami sukai. Kadang, memang situasional saja.
Salah satu alasan menggunakan Halodoc adalah mengenai integrasinya — mulai dari pemesanan, pembayaran, sampai dengan pengiriman menggunakan layanan Gojek — yang sudah sangat baik. Beberapa kali saya memesan melalui aplikasi ini, dan semua mendapatkan pengalaman yang baik.
Soal harga, ketika secara acak saya bandingkan, memang kadang lebih mahal — misal ketika dibandingkan dengan harga di situs niaga-el. Tapi, jika ini untuk kebutuhan yang mendesak, Halodoc jelas sebuah solusi yang perlu dipertimbangkan.
Terakhir kali saya pesan beberapa bulan lalu ketika anak anak kami sakit, kami perlu beli Pedialyte. Pemesanan saat itu sekitar pukul 00.30 WIB. Semua diproses dengan baik sekitar satu jam. Waktu sampai obat sampai di rumah terkesan lama, namun lebih karena jarak yang jauh saja dari apotek yang punya stok.
Langsung Pesan dari Apotek
Salah satu kebiasaan saya ketika membeli sesuatu di toko adalah mencatat nomor kontak. Jadi, jika dibutuhkan tidak repot. Beberapa apotek yang tidak jauh dari rumah sudah ada dalam daftar kontak.
Jika Anda mungkin belum memiliki kontak-kontak apotek di ponsel, sepertinya tidak ada salahnya sekarang mulai mencatatnya.
Ada dua apotek yang menjadi pilihan kami selama ini. Pertama adalah Apotek K-24, dan yang kedua adalah apotek Unisia. Keduanya kebetulan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Ada alasan mengapa beli langsung dari apotek — khususnya kedua apotek tersebut — menjadi pilihan:
Bisa konsultasi atau bertanya terlebih dahulu mengenai obat yang diperlukan, aplagi kalau sedikit kurang yakin dengan kebutuhan.
Soal harga, bisa langsung ditanyakan.
Buka 24 jam. Walaupun selama ini saya belum perneah pesan lebih dari jam 21.00 WIB.
Seluruh pemesanan melalui apotek langsung hampir semuanya untuk kebutuhan yang tidak terlalu mendesak. Ketika saya butuh membeli perban elastis, saya tidak keberatan menunggu sekitar satu jam untuk dikirim dari apotek pilihan saya.
Apotek K-24
Ada beberapa apotek K-24 yang tidak terlalu jauh dari rumah. Namun, ada satu yang selalu jadi langganan dengan beberapa alasan:
Bisa melakukan pembayaran secara non-tunai. Dulu, saat membeli di lokasi langsung dan melakukan pembayaran non-tunai menggunakan OVO, apakah bisa jika nanti pesan melalui WhatsApp, lalu saya bayar “jarak jauh”, kemudian saya kirim kurir (GoSend atau GrabSend). Ternyata bisa.
Cara ini ternyata tidak bisa — kurang familiar oleh karyawan apotek — dengan apotek K-24 yang sebenarnya secara jarak lebih dekat dari rumah.
Tentu aplikasi K24Klik juga dapat digunakan jika diperlukan. Saat ini, metode yang saya pilih sudah sangat mencukupi dan nyaman.
Apotek Unisia 24
Apotek ini didirikan/dikelola oleh PT. Unisia Polifarma (UII Farma). Di Jogja, apotek ini ada di beberapa lokasi. Beberapa alasan pilihan:
Lokasi tidak jauh dari rumah, jadi seandainya di ambil sendiri, atau dikirim melalui kurir, biaya tidak mahal. Namun, ada layanan antar gratis sampai jarak 5 km untuk pembelian minimal Rp50.000.
Ada pernah obat yang rencana saya mau beli ada stok yang kosong. Tapi, karena itu tidak mendesak, jadi bisa diganti dengan merek lain.
Sama dengan K-24, komunikasi dilakukan dengan WhatsApp. Soal respon, selama ini cukup cepat. Memang pernah saya menghubungi, namun tidak mendapatkan balasan, dan bahkan baru dibalas keeseokan harinya, dengan alasan chat yang tertumpuk/terlewat. Bisa dipahami karena melayanai dengan sistem WhatsApp potensi seperti ini bisa terjadi.
Juni lalu, ada sebuah ‘kegelisahan' yang saya rasakan, dan istri saya juga merasakan hal yang kurang lebih sama. Pandemi yang ternyata bukan membaik, tapi justru semakin memberikan dampak yang lebih berat lagi.
Saya hampir tidak baca bagaimana analisis perekonomian nasional dalam masa pandemi. Atau, bagaimana ekonomi secara global. Tapi, sama seperti milyaran manusia di bumi ini, saya tahu yang pasti: semua kena imbasnya. Tentu, ada juga yang secara ekonomi atau bisnis justru sedang menuai.
Itu satu hal.
Saya lebih memilih untuk melihat yang ada di depan mata. Yang sehari-hari terlihat, dan begitu nyata. Dan, semakin melihat banyak hal, semakin terusik perasaan saya. Sangat tidak enak. Saya tidak nyaman.
Dari sekian banyak hal-hal yang bisa dilakukan, segala macam rencana ini dan itu — dari beberapa hal yang sudah berjalan — saya bersama istri akhirnya menambahkan satu lagi komitmen kecil untuk merayakan bagaimana kami selama ini telah sangat dicukupkan.
Kami ingin melakukan hal yang telah banyak dilakukan oleh orang banyak, termasuk beberapa teman yang bahkan jauh lebih dulu. Dulu pernah juga ikut “nebeng” ke aktivitas yang dibuat beberapa teman, dan dengan senang hati melakukannya.
Iya, berbagi nasi/makanan. Karena, dengan kondisi pandemi saat ini, jika ada satu hal yang mungkin harus tercukupi, salah satunya adalah soal bagaimana bisa tetap makan.
Kemasan nasi bungkus yang dibagikan.
Begini rencana awalnya…
“Pesan ke salah satu saudara yang buka warung makan, minta tolong langsung dibungkus, dan nanti diletakkan di depan warung/area dekat situ. Bagi siapapun yang mau ambil, silakan ambil. Kalau habis, ya sudah. Komitmen untuk dua kali seminggu, tidak tahu sampai kapan.”
Kurang lebih rencananya seperti itu. Tidak ada yang sangat istimewa, dan setelah dipikirkan dan dipertimbangkan, harusnya sangat doable.
Soal mekanisme pemesanan, menu, dan lainnya secara detil sudah oke, dan dengan saudara kami ini, memiliki semangat yang sama, dan menyambut baik rencana ini.
Jadi, kami menyerahkan tentang kapan makanan ini akan di masak dan didistribusikan. Dan, karena distribusi tidak akan jauh dari tempat saudara ini, jadi harapannya soal “waktu” bisa lebih disesuaikan sesuai kebutuhan di area tersebut. Oh ya, untuk waktu walaupun bebas kami sepakat untuk tidak di hari Jumat. Karena sepengetahuan kami untuk Jumat sudah banyak saudara-saudara yang sudah berbagi berkat. Kami memilih dua hari yang lain.
Soal menu, kami inginnya tidak hanya soal kuantitas yang penting banyak, tapi harapannya juga secara komposisi cukup baik. Kalau telur atau daging bisa hadir, kenapa tidak?
Semua sudah OK, dana dari komitmen juga sudah ada untuk beberapa minggu ke depan. Jadi, bagaimana kalau langsung mulai saja?
Karena sudah cukup lama tidak mengunjungi eyangnya di ujung selatan Bantul, hari ini saya membawa keluarga untuk datang berkunjung sebentar. Kemarin, si bocah juga baru saja berulang tahun.
Kunjungan singkat tersebut sekaligus kesempatan mampir ke pantai. Dan Pantai Glagah merupakan pilihan siang itu. Tidak ada ekspektasi, selain bahwa semoga cuaca cukup baik. Pengalaman sesekali kali ke pantai — di masa pandemi — memang biasanya memilih jam dan hari yang ‘kurang diminati orang'.
Otomatis memang pantai/obyek wisata pasti cenderung sepi. Pengunjung berkurang. Dan, siang itu, saya menjumpai kawasan Pantai Glagah ini memang sepi. Setelah saya membayar retribusi obyek wisata sebesar Rp18.000 untuk tiga orang, saya langsung mengarahkan kendaraan ke area pantai. Dan, tujuan pertama ke kawasan laguna.
Laguna Pantai Glagah
Ketika mampir di area laguna, saya hanya melihat sekitar emapt mobil saja parkir. Ada beberapa sepeda motor terparkir. Sepi sekali. Ada sebuah perasaan sedih. Entahlah, tidak nyaman melihatnya.
Pantai Glagah.
Ketik sampai ke kawasan parkir pantai, saya hanya melihat satu mobil yang sedang parkir. Lagi-lagi, sangat sepi. Semoga ini memang karena sedang bulan puasa. Walaupun saya tetap mendukung protokol kesehatan untuk tetap dijalankan, tapi di saat yang sama bahwa ada yang menggantungkan penghasilan dari sektor pariwisata ini, pemandangan yang sepi ini cukup berhasil mengusik saya.
Beberapa orang yang berjaga parkir juga sepertinya menjalani hari yang cukup berat. Beberapa warung juga sepi. Beberapa kawasan yang sepertinya disiapkan (atau dulu malah sudah pernah beroperasi) juga sepertinya tidak menunjukkan bahwa ada aktivitas perekonomian di sana.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya saya dan istri sepakat untuk kembali menggunakan ART (asisten rumah tangga), setelah sekitar satu tahun ini kami saling berbagi tugas sehari-hari. Menurut kami, sebenarnya saat ini semua juga cukup baik-baik saja. Pekerjaan bebersih, memasak, mengasuh anak, semua bisa dikatakan bisa dijalankan dengan cukup baik.
Cuma memang, secara rutinitas menjadi lebih ekstra tenaga. Pekerjaan mencari rejeki juga harus berjalan, bahkan dengan banyak hal yang lebih menantang. Pengelolaan waktu merupakan satu hal yang menantang diantara begitu banyak distraction yang terjadi silih berganti, apapun itu.
Mempekerjakan ART juga berarti adanya tambahan biaya bulanan, yang selama ini kami juga harus mengaturnya dengan lebih bijak. Seperti halnya dengan banyak karyawan/usaha yang terdampak pandemi, saya juga ikut mendapatkan priviledge berupa penyesuaian — lebih tepatnya pemotongan — gaji. Jadi, ya memang saya juga ikut dalam ‘mode bertahan'.
Alasan kenapa akhirnya memilih untuk mempekerjakan kembali ART lebih kepada supaya bisa menjalani dan melewati hari dengan lebih baik, secara fisik maupun mental. Mungkin istilah kerennya adalah “demi kualitas hidup yang lebih baik”. Dan, kalau mungkin ini juga bisa menjadi jalan rejeki bagi orang lain, kenapa tidak.
ART yang akhirnya kami pekerjakan kembali juga bukan orang baru. Dia adalah ART pertama kami ikut bersama kami mungkin sekitar satu tahun, sebelum dia memutuskan untuk berhenti bekerja (bersama kami) karena ada beberapa urusan pribadi yang membuat waktu bekerjanya jadi sulit didapatkan.
Setelah berdiskusi dan wawancara virtual cukup panjang, terutama terkait dengan kondisi pandemi dan bagaimana protokol kesehatan, akhirnya kami memutuskan untuk mempekerjakan kembali. Walaupun, selama masa pandemi ART kami (katanya) ada di rumah terus bersama keluarga, dan suaminya juga mengurus sawah, tapi kami tetap meminta untuk dilakukan rapid test Antigen. Jadi, kami koordinasikan untuk ART — dan suami yang mengantar — juga untuk tes Antigen. Puji Tuhan, semua hasilnya negatif/non-reaktif.
Dan, selama dua minggu pertama, kami menyepakati untuk tetap menjaga jarak di rumah, dan selalu memakai masker selama berada di dalam rumah. Area pergerakan ART juga masih sangat terbatas. Juga, kami sepakat untuk ART ini tidak akan pulang terlebih dahulu paling tidak sampai dua bulan ke depan.
Kalau harus pulang, berarti memang kami juga bersepakat itu akan dianggap mengundurkan diri. Tidak mudah memang, tapi ini juga tentang adanya risiko kalau nanti bolak-balik.
Pada awal Februari 2021 lalu, BPOM mengeluarkan persetujuan penggunaan darurat (emergency use authorization)vaksin CoronaVac untuk usia 60 tahun ke atas dengan dua dosis suntikan vaksin, yang diberikan dalam selang waktu 28 hari.
Ya, tentu saja ini kabar baik. Saya tidak terlalu mengikuti perkembangan bagaimana mekanismenya. Tapi, saya justru tertarik tentang bagaimana proses pendataannya. Jadi, beredar beberapa info dan tautan melalui kanal komunikasi di grup WhatsApp mengenai mekanismenya dengan mengisi data… melalui Google Form.
Google Form tentu memiliki fitur yang dibutuhkan untuk dapat menginput data dengan mudah bagi publik. Data yang masuk bahkan sudah sangat mudah untuk dikelola, karena bisa langsung dapat tersedia dalam format spreadsheet.
Tapi, kenapa menggunakan Google Form ya? Maksud saya lebih kepada bukankan ini — pengisian menggunakan Google Form — akan cukup mudah untuk disalahgunakan? Sesulit apa untuk menyalahgunakan formulir semacam ini? Apalagi, informasi seperti ini sangat “menarik” bagi banyak orang. Bayangkan saja, tautan yang ‘ilegal' dengan format formulir yang sama persis beredar di masyarakat, lalu data terisi, lalu siapapun yang memiliki formulir itu memegang data.
Bayangkan juga, bahwa ini lalu tidak dibuat hanya terkait pendataan data untuk vaksinasiCOVID-19 bagi lansia. Entah mengapa proses input data ini tidak dilaksanakan terpusat di situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Atau, di situs Satgas Penanganan COVID-19. Kalaupun di tingkat yang lebih kecil, bisa ada di situs dinas kesehatan kota/kabupaten. Apa iya tidak bisa membuat sebuah mekanisme mandiri, sehingga data-data yang masuk dapat lebih terlindungi?
Sehingga, peluang untuk mekanisme pengisian data untuk disalahgunakan bisa paling tidak sedikit dikurangi.
Data yang perlu diisi berdasarkan “formulir resmi” terkait pendataan ini seperti NIK (Nomor Induk Keluarga), tanggal lahir, nomor ponsel, dan alamat. Semoga saja, tidak perlu banyak beredar “formulir palsu” nantinya.
Selama hampir satu tahun berada dalam masa pandemi — dan entah sampai kapan pandemi ini akan berakhir — saya memang beberapa kali memutuskan untuk berada di luar rumah, untuk bekerja. Tentu, dibandingkan dengan masa sebelum pandemi, aktivitas ini sangat berkurang.
Saya coba hitung, kalau tidak salah, secara total saya hanya pernah empat kali duduk di tempat yang memungkinkan saya untuk bekerja — membuka laptop. Namun, itupun belum tentu saya bekerja dan dalam periode waktu yang tidak terlalu lama (tidak sampai seharian).
Selain di warung kopi — yang didesain dan dikelola untuk sekaligus menjadi coworking space — saya akhirnya juga kadang bekerja dari hotel. Agak berbeda memang, karena bagi saya hotel dari dulu bukan opsi utama jika ingin sekadar duduk, membuka laptop, lalu bekerja.
Seluruh cerita terkait dengan pengalaman menggunakan layanan/area di Prime Plaza Hotel Yogyakarta (PPH Yogyakarta) merupakan pengalaman pribadi, dan tidak memiliki afilitasi/kerjasama dengan pihak hotel. Semua biaya yang muncul merupakan biaya pribadi. Pengalaman berbeda mungkin terjadi, dan saya mendorong untuk mengkonsultasikan dengan pihak hotel, jika diperlukan. Semua foto merupakan koleksi pribadi.
Paket “Work From Hotel” ini sebenarnya merupakan sebuah alternatif terkait dengan pemesanan makanan di hotel. Secara prinsip, tanpa harus menggunakan opsi paket “Work From Hotel (WFH)” , tetap bisa saja memesan makanan dari resto, untuk dinikmati di area resto, dan mulai bekerja di tempat yang tersedia.
Untuk kunjungan pertama, saya coba paket seharga Rp55.000. Secara umum, ada beberapa pilihan “paket” yang dapat dipilih sesuai selera, yaitu:
Harga tersebut adalah harga termasuk pajak. Dan, ini dapat digunakan selama jam operasional hotel yaitu setiap hari (termasuk Sabtu dan Minggu), mulai pukul 07.00-23.00 WIB. Informasi lebih lengkap bisa dilihat di https://work-from-hotel.web.app, tapi tetap ada baiknya juga menghubungi narahubung melalui WhatsAppp.
Jam operasional hotel ini lebih memberikan fleksibilitas. Walaupun saya memanfaatkan di jam kerja saja, dan tidak seharian penuh juga pada akhirnya.
Setelah memarkir kendaraan saya, saya menuju ke area lobi untuk pemeriksaan suhu, menggunakan hand sanitizer dan memindai QR Code yang perlu saya isi sebagai tamu. Pengisian data ini menggunakan Google Form. Area parkir roda dua dan empat tersedia di bagian depan dan sangat luas menurut saya. Oh ya saya masuk melalui pintu masuk utama di Jl. Affandi.
Oleh petugas di lobi, saya ditanyai ada keperluan apa/mau kemana, saya sampaikan mau ke restoran. Dan, selanjutnya lancar saja. Saya sempatkan ke resepsionis, dan diarahkan untuk langsung saja ke area Colombo Pool Terrace, yaitu restoran yang semi outdoor, yang lokasinya ada di samping kolam renang.
Petugas restoran menyambut saya dengan ramah, dan sepertinya cukup well-informed bahwa ada tamu yang datang untuk “Work From Hotel”. Saya ambil tempat duduk agak di pinggir. Saya amati sekilas untuk akses ke colokan listrik juga tersedia di bawah meja.
Saya tidak punya ekspektasi untuk minuman atau snack yang saya dapatkan untuk harga Rp55.000 yang saya bayarkan. Jadi ya tunggu saja. Setelah saya duduk, beberapa saat kemudian saya diinformasikan mengenai akses internet yang bisa digunakan, dan selanjutnya saya ditawarkan apakah mau minum teh atau kopi. Siang itu, saya merencanakan mungkin akan berada disana sekitar 2-3 jam saja. Jadi apapun yang disajikan saya perkirakan cukup untuk menemani saya siang itu.
Akhirnya saya tidak jadi membuka laptop, dan bekerja dari iPad saya. Untuk minuman, saya memilih kopi — yang akhirnya kopi ini bisa untuk porsi dua gelas. Kopinya sendiri merupakan black coffee, dimana ini sesuai dengan ekspektasi saya. Mungkin jika ingin yang selain kopi, bisa memilih teh, yang sepertinya penyajian juga hampir sama. Snack dan sedikit cemilan cukup untuk menemani kopi dan waktu bekerja.
Pengalaman pertama saya untuk mencoba alternatif tempat bekerja di hotel kali ini cukup menarik. Saat saya datang, ada beberapa tamu hotel atau pengunjung yang sedang ada di area restoran. Tapi, karena area cukup luas dan penataan meja/kursi cukup lapang, jadi ya tidak masalah juga. Oh ya, karena area ini semi outdoor, jadi untuk yang mungkin membutuhkan tempat merokok, area ini cukup baik. Ya, walaupun saya sudah tidak merokok juga. Ada sebenarnya pilihan untuk area restoran yang indoor dengan AC. Tapi, saat itu saya memagn lebih tertarik yang semi outdoor.
Sejak masa pandemi COVID-19, salah satu yang berubah adalah salah satu kebiasaan untuk bekerja dari luar, dan khususnya ke kafe atau coffee shop, atau co-working space. Saya cukup merindukan suasana yang berbeda dari suasana kantor, atau suasana di rumah.
Seingat saya, kali terakhir saya duduk di coffee shop itu sekitar bulan Oktober atau November tahun lalu di Prada Coffee Argulo di daerah Gejayan, Yogyakarta. Salah satu tempat ngopi favorit saya. Dulu ada juga yang di Kotabaru yang juga salah satu tempat favorit, tapi sekarang sudah tutup.
Karena kebutuhan tiap orang berbeda termasuk saya, jadi kadang spesifik tempat kopi porsinya lebih banyak untuk yang bekerja dengan lebih santai, karena tak jarang karena ketemu dengan teman, ngobrol lebih sering terjadi. Haha! Ya, bagaimana lagi, kebutuhan sosial kan juga harus dipenuhi.
Co-working space, dengan para tamu yang hadir memang cenderung lebih bekerja menjadi opsi yang lain. Starbucks mungkin juga pilihan menarik, tapi saya cukup jarang juga, hanya sesekali saja.
Ini juga pilihan, walaupun jarang dimanfaatkan termasuk oleh saya. Saya tidak terlalu ingat kapan kali terakhir saya bekerja dari hotel. Maksudnya, untuk ke area resto, membuka latop, dan mulai bekerja. Padahal, seharusnya ini menjadi pilihan yang menarik. Karena, untuk pelayanan, kebersihan, dan suasana pasti akan berbeda. Walaupun mindset tentang hotel juga tidak mungkin lepas seperti:
Harga mahal
Wifi standar hotel, walaupun ada tapi lebih kepada fasilitas tambahan saja
Suasana kurang santai. Dengan pakai casual, bisa saja bagi beberapa orang lebih intimidatif dibandingkan ke co-working space atau coffee shop.
Dan, yang paling utama karena hotel pada umumnya tidak didesain sebagai tempat bekerja atau co-working space. Jadi, ketika beberapa waktu lalu saya dengar Prime Plaza Hotel Yogyakarta menawarkan layanan bekerja dari hotel — mereka menyebutnya “Work From Hotel (WFH)” — saya tertarik untuk mencoba dan menjadikannya opsi.
Bahkan, katanya untuk harga juga cukup bersaing dengan menawarkan beberapa fleksibilitas. Ada yang bisa digunakan untuk harian, dan katanya harga mulai dari Rp50.000 Rp55.000 untuk sekali datang, sudah termasuk kopi/teh dan makanan kecil.
Hari ini, saat penanganan pandemi COVID-19 masih tak kunjung membaik, Indonesia mencatat ada 14.224 kasus baru. Dan, tak hanya itu, ada 5.279 kasus aktif baru (dalam perawatan), dengan positive rate 31,35%. Ketiga angka tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah tercatat. Angka tersebut berdasarkan jumlah 45.358 orang yang dites.
Tentang kebijakan untuk menekan persebaran COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintah pusat, atau pemerintah daerah, sepertinya juga tidak membawa perbaikan. Alih-alih menerapkan prosedur pelaksanaan yang mendukung pergerakan/mobilitas manusia, tak jarang justru kebijakannya malah berkebalikan.
Sebenarnya ingin optimis bahwa pandemi ini — khususnya di Indonesia — akan ke arah perbaikan. Jumlah kasus menurun, jumlah kematian menurun, tenaga kesehatan juga semakin ringan pekerjaannya. Tapi…
Dan, sepertinya pemerintah lebih menekankan kepada proses vaksinasi sebagai jawaban. padahal, proses vaksinasi ini tidak akan serta merta menghambat laju perkembangan kasus baru di Indonesia. Prosesnya sangat panjang. Dan, seiring dengan proses itu, sangat tidak mustahil dengan tingkat kedisiplinan orang yang masih banyak abai, kasus akan terus naik pula.
Lalu, divaksinasi atau tidak?
Saya tidak tertarik untuk membahas tentang mereka yang pro atau anti terhadap vaksinasi. Itu pilhan mereka. Bahwa ada sanksi jika menolak, biarlah penegakan hukum atau dasar aturannya yang berbicara. Tentang efektivitas, vaksin Sinovac yang diberikan secara gratis, bagian paling penting adalah sudah sesuai dengan standar WHO, dan mendapatkan ijin edar darurat (Emergency Use Authorization) dari BPOM pada 11 Januari 2021 lalu.
Kalau saya, dengan tidak ada banyak pilihan solusi, jika memang sudah saatnya dan saya memang bisa mendapatkan giliran vaksinasi, saya akan menerimanya. Kalau melihat fenomenanya, bukan tidak mungkin justru kehadiran vaksin dengan jadwal vaksinasinya ini membuat proses penanganan penyebaran menjadi lebih sulit.
Bisa saja orang berpikir bahwa karena sudah divaksinasi, maka akan aman. Padahal, selain bahwa prosesnya cukup panjang — pemerintah menargetkan akan selesai dalam 15 bulan — tapi untuk masing-masing penerima vaksin juga tidak serta merta aman.
Ada proses pembentukan antibodi, proses vaksinasi dilakukan dua kali untuk masing-masing penerima dengan jarak 2 minggu. Dan, tidak semua orang mendapatkan jadwal vaksinasi yang sama. Semoga saja kondisi ini juga disadari, jangan malah melegalkan untuk mengendorkan protokol kesehatan.