Akhir Januari ini, saya perlu melakukan perpanjangan masa aktif SIM A milik saya. Saya sempat mencari informasi bagaimana proses perpanjangan SIM di kota Jogjakarta ini. Tetapi, informasinya masih agak membingungkan. Sempat juga banyak baca mengenai perpanjangan SIM secara daring. Dan, beberapa teman juga menginformasikan kalau perpanjangan secara daring ini bisa jalan lancar juga. Tapi, opsi ini sepertinya kurang cocok untuk kondisi saya (saat itu).
Perpanjangan SIM secara daring (online)
Beberapa kondisi yang menjadikan proses perpanjangan SIM secara daring ini menjadi pilihan cocok, apabila:
Masa berakhir/kedaluarsa masih cukup lama. Kalau tidak salah, ini bisa dilakukan bahkan tiga bulan sebelum kedaluarsa. Saya lupa tepatnya.
Tetap harus melakukan tes kesehatan dengan mendatangi dokter/fasilitas kesehatan yang telah ditentukan.
Awalnya saya sempat akan menggukan metode ini. Tapi, saya batalkan karena tetap harus melakukan tes kesehatan juga, dan saat itu tinggal 7 (tujuh) hari sebelum masa kedaluarsa SIM saya. Untuk prosesnya, kalau saya baca-baca di internet, dan juga melalui linimasa media sosial, layanan ini bisa menjadi pilihan. Tinggal ikuti saja prosesnya.
Perpanjangan SIM secara luring (offline)
Ada dua pilihan jika akan melakukan perpanjangan SIM dengan cara ini. Pertama, melalui layanan SIM keliling. Kedua, langsung ke Satpas Polresta Yogyakarta. Ketiga, datang langsung ke SIM Corner. Pilihan pertama sebenarnya bisa menjadi opsi. Kalau mencari di internet/berita, cukup banyak jadwal SIM keliling ini di Jogjakarta.
Karena saya belum tentu dapat hadir sesuai jadwal sesuai antrian di Satpas Polresta Yogyakarta, akhirnya saya juga melihat opsi ketiga: datang langsung ke SIM Corner. Setelah mencari informasi:
Jam buka operasi akan mengikuti jam buka mall, dan kalau kuota sudah terlayani semua, maka layanan selesai. Diperkirakan sekitar jam makan siang harusnya sudah selesai semua. Namun, untuk proses antrian sudah dapat dilaksanakan pagi hari. Tentang pengambilan antrian, saya mendapatkan informasi yang lebih jelas untuk pilihan lokasi yang di Ramai Mall Malioboro.
Bulan Januari ini, saya memutuskan untuk membeli sebuah Mac Mini, yang mungkin akan menggantikan laptop yang ada di rumah. Mungkin “menggantikan” bukan kata yang paling tepat saat ini, karena laptop yang ada sebenarnya juga masih bisa digunakan.
Pertimbangan kenapa akhirnya membeli Mac Mini memang cukup banyak. Beberapa MacBook yang ada — baik punya saya ataupun istri — usianya sudah cukup lama. Punya saya mungkin adalah yang paling lama. MacBook Pro 13″ sudah berusia lebih dari 10 tahun, dan yang MacBook Pro 15″ (Retina Display) sudah hampir berumur 9 tahun.
Istri juga menggunakan MacBook yang sudah cukup lama usianya. Jadi, secara singkat ada beberapa “masalah” yang agak mengganggu:
Dukungan sistem operasi MacOS yang terhenti. Walaupun, hampir semua kebutuhan aplikasi masih bisa terpenuhi, tapi ada beberapa aplikasi yang cukup esensial sudah tidak didukung oleh versi sistem operasi yang cukup lama;
Performa mesin yang mulai agak kepayahan dengan aplikasi-aplikasi yang ada saat ini. Tak jarang mesin harus bekerja dengan lebih keras, dengan dibantu oleh kipas yang juga bekerja dengan tak kalah keras;
Mungkin kedua hal tersebut menjadi pertimbangan utama. Awalnya, sempat juga ingin membeli laptop saja, tapi ide ini akhirnya batal juga, karena:
Pekerjaan kebanyakan akan ada di rumah. Jadi, sebuah “desktop” mungkin akan lebih cocok;
Kalau laptop, agak susah untuk gantian;
Biaya yang mungkin akan muncul juga perlu diantisipasi. Selama menggunakan MacBook, saya pernah mengalami beberapa masalah/perbaikan seperti penggantian baterai, charger yang harus ganti karena kabel rusak/aus, papan ketik yang mati — yang akhirnya harus diganti semua — dan beberapa masalah lain. Nah, biaya penggantian untuk perangkat-perangkat yang rusak itu juga cukup lumayan juga;
Kalau terpaksanya harus bekerja di luar rumah, saya rasa laptop yang ada juga masih bisa digunakan, atau menggunakan iPad.
Pilihan Konfigurasi
Agak bingung juga awalnya mengenai konfigurasi yang saya pilih, RAM 8GB atau 16 GB, storage 256GB atau 512GB? Pilihan akhirnya jatuh ke konfigurasi RAM 16 GB dan storage 512GB. Beberapa pertimbangan saya:
Mac Mini ini akan cukup lama saya pakai. Paling tidak minimal dalam 5-6 tahun ke depan, atau bahkan lebih. Saya rasa ini alasan yang masih sangat masuk akal, mengingat produk Apple (MacBook, iPhone, dan iPad) yang saya gunakan semuanya berumur panjang.
Antisipasi bahwa nanti dengan perbaruan sistem operasi, dan banyaknya aplikasi yang mungkin akan lebih membutuhkan tenaga lebih banyak, RAM yang tinggi mungkin menjadi pertimbangan yang masuk akal.
Media penyimpanan sebenarnay bisa juga dengan tambahan ruang penyimpanan eskternal. Tapi, artinya akan ada tambahan barang dan kabel lagi. Juga, karena ini akan dipakai bersama dengan istri, termasuk juga untuk hal-hal teknis saya (dan istri juga), jadi storage perlu menjadi pertimbangan.
Untuk pembelian, saya melakukan transaksi pembelian melalui Tokopedia, setelah membandingkan beberapa harga produk dan menanyakan ketersediaan stok. Beruntung, saya mendapatkan harga dan pilihan konfigurasi yang sesuai.
Karena ada satu keperluan, saya membutuhkan beberapa dokumen kependudukan yang harus saya siapkan. Dan, bukan hanya salinan fotokopi, namun dokumen yang sudah dilegalisir. Sebenarnya tidak ada masalah dengan proses ini, karena memang bukan kali pertama melakukan legalisir dokumen.
“Masalahnya” adalah jarak tempat tinggal dengan kantor dinas kependudukan dan catatan sipil (disdukcapil) Bantul bisa dikatakan cukup jauh. Perjalanan bisa jadi satu jam sendiri naik kendaraan pribadi.
Awalnya, saya tanyakan ke salah satu teman saya yang bekerja sebagai ASN di salah satu dinas pemerintahan di DIY mengenai jam operasional disdukcapil. Ketika saya menyampaikan keperluan saya, dia menyarankan untuk melakukannya saja secara daring/online. Lalu saya diberi informasi mengenai layanan Legalisir Online. Jadi, alih-alih datang dengan membawa salinan fotokopi dan dokumen asli, kita hanya perlu mengirimkan dokumen melalui surel, kemudian dokumen yang telah dilegalisir akan dikirimkan pula melalui surel.
Terlihat mudah. Dan, sepertinya ini perlu dicoba.
Legalisir Dokumen
Saya membutuhkan dua dokumen yang dilegalisir, yaitu KTP dan Kartu Keluarga. Kebetulan, Kartu Keluarga saya ini tergolong “baru”, dikeluarkan tahun 2019, dan tanda tangan pejabat berwenang sudah dalam format QR Code.
Di bagian bawah dokumen Kartu Keluarga, tertulis “Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh Badan Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN.
Untuk proses di disdukcapil Kabupaten Bantul, prosesnya sebagai berikut:
Siapkan hasil pindai (scan) dokumen yang akan dilegalisir dalam format PDF. Dokumen dalam bentuk digital ini harus dari dokumen asli, bukan fotokopi.
Untuk KTP, saya pindai dua sisi, kemudian saya masukan dalam Microsoft Word dengan posisi berdampingan layaknya ketika difotokopi. Semua dokumen saya pindai berwarna.
Pastikan dokumen cukup jelas terbaca. Jika bisa, pindai dengan resolusi yang cukup baik.
Setelah semua dokumen PDF siap — satu jenis dokumen dalam satu PDF — kirimkan ke: [email protected] dengan judul surel misanya “Legalisir Dokumen KTP/KK“. Saya mengirimkan dengan judul surel: Legalisir Dokumen KTP/KK {Nama saya}. Ya, supaya lebih mudah/jelas saja.
Saya mengikuti instruksi yang tersedia terkait dengan isi surel. Dalam isi surel, saya tuliskan:
Kepada Disdukcapil Kab. Bantul.
Yang memohonkan: NIK: {nomor NIK} Nama: {nama sesuai KTP} Alamat: {alamat sesuai KTP} HP: {nomor ponsel}
Yang dimohonkan: KTP a.n. {nama saya} KK a.n. {nama kepala keluarga dalam KK}
Terima kasih.
Isi surel kepada disdukcapil untuk permohonan legalisir dokumen secara online/daring.
Saya kirimkan dokumen sekitar pukul 12.50 WIB pada hari Senin. Kalaupun baru diproses pada sore hari atau bahkan keesokan harinya, tidak ada masalah juga.
Ternyata saya salah. Sekitar pukul 13.10 WIB (tidak sampai 30 menit) saya sudah mendapatkan balasan melalui surel saya. Dokumen yang sudah dilegalisir ada dalam lampiran. Saya tidak tahu ini karena antrian sedang sedikit jadi proses cepat, tapi dalam pengalaman saya mengurus dokumen di disdukcapil Bantul, seluruh proses memang cepat, sih.
Dokumen Kartu Keluarga tidak dikirimkan karena tidak dilegalisir dan saya mendapatkan informasi tambahan dari petugas dalam surel bahwa sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) mengenai Dokumen Kependudukan No 104 tahun 2019 Pasal 19 ayat (6) bahwa: Dokumen Kependudukan seperti Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, Akta Kematian, Akta Perkawinan yang sudah menggunakan Tanda Tangan Elektronik (TTE) tidak perlu di legalisir.
Bagaimana jika Kartu Keluarga belum memiliki QR Code? Untuk mendapatkan yang terbaru, bisa saja melalui perbaruan data untuk dapat dicetak ulang.
Terima kasih untuk pelayanan yang sangat cepat, Disdukcapil Kabupaten Bantul!
Karena sudah cukup lama tidak mengunjungi eyangnya di ujung selatan Bantul, hari ini saya membawa keluarga untuk datang berkunjung sebentar. Kemarin, si bocah juga baru saja berulang tahun.
Kunjungan singkat tersebut sekaligus kesempatan mampir ke pantai. Dan Pantai Glagah merupakan pilihan siang itu. Tidak ada ekspektasi, selain bahwa semoga cuaca cukup baik. Pengalaman sesekali kali ke pantai — di masa pandemi — memang biasanya memilih jam dan hari yang ‘kurang diminati orang'.
Otomatis memang pantai/obyek wisata pasti cenderung sepi. Pengunjung berkurang. Dan, siang itu, saya menjumpai kawasan Pantai Glagah ini memang sepi. Setelah saya membayar retribusi obyek wisata sebesar Rp18.000 untuk tiga orang, saya langsung mengarahkan kendaraan ke area pantai. Dan, tujuan pertama ke kawasan laguna.
Laguna Pantai Glagah
Ketika mampir di area laguna, saya hanya melihat sekitar emapt mobil saja parkir. Ada beberapa sepeda motor terparkir. Sepi sekali. Ada sebuah perasaan sedih. Entahlah, tidak nyaman melihatnya.
Pantai Glagah.
Ketik sampai ke kawasan parkir pantai, saya hanya melihat satu mobil yang sedang parkir. Lagi-lagi, sangat sepi. Semoga ini memang karena sedang bulan puasa. Walaupun saya tetap mendukung protokol kesehatan untuk tetap dijalankan, tapi di saat yang sama bahwa ada yang menggantungkan penghasilan dari sektor pariwisata ini, pemandangan yang sepi ini cukup berhasil mengusik saya.
Beberapa orang yang berjaga parkir juga sepertinya menjalani hari yang cukup berat. Beberapa warung juga sepi. Beberapa kawasan yang sepertinya disiapkan (atau dulu malah sudah pernah beroperasi) juga sepertinya tidak menunjukkan bahwa ada aktivitas perekonomian di sana.
Setelah menggunakan KlikIndomaret untuk tahun lalu, saya beberapa kali menggunakan layanan ini. Minggu ini saya melalukan dua kali pemesanan. Dan, semuanya berjalan dengan lancar, dan terlihat lebih baik.
Walaupun sekarang dalam masa pandemi jam operasional mengikuti aturan lokal mengenai jam operasional usaha, dua kali transaksi terakhir saya lakukan di pagi hari. Sebenarnya, saya ingin juga mencoba Alfacart kembali, tapi sedikit ada masalah dengan akun saya. Karena lupa sandi, saya gunakan fitur untuk me-reset sandi. Tapi instruksi yang saya ikuti tidak berjalan baik. Intinya, saya tidak bisa login. Ya sudah, saya pakai yang bisa dipakai saja.
Sudah sekitar 10 tahun saya menggunakan laptop keluaran dari Apple, setelah berpindah dari laptop dengan sistem operasi Windows. Seingat saya, laptop terakhir saya adalah Toshiba dengan sistem operasi Windows 7. Sudah sangat lama, tentu saja. Sejak saat itu, saya belum pernah berpindah ke laptop (atau piranti lainnya) yang menggunakan sistem operasi Windows.
Menggunakan laptop Macbook Pro dari Apple, saya berpindah dari Macbook Pro 13″ ke Macbook Pro 15″ (Retina Display). Dan, masih nyaman saja. Bahkan, laptop Macbook Pro 15″ ini juga masih saya pakai sebagai laptop utama untuk kebutuhan sehari-hari.
Namun, beberapa kali melihat ulasan tentang laptop dan tentu saja perkembangan sistem operasi Windows saat ini, saya tergoda untuk mencoba laptop selain keluaran Apple ini. Secara spesifikasi dan jenis, tentu saja saat ini sudah sangat baik. Harga mungkin juga bersaing, pilihan juga makin banyak.
Apalagi, sistem operasi Windows tentu sudah sangat jauh berkembang ke arah yang lebih baik. Sebenarnya, saat ini saya cukup optimis bahwa pekerjaan saya sehari-hari bisa dilakukan di Windows.
Saya belum tahu secara spesifik merek laptop yang saya mau. Tapi, spesifikasi untuk bisa bekerja dengan nyaman, daya tahan baterai bagus, layar oke, saya rasa juga umum untuk menjadi pilihan.
Atau, ada yang mungkin akan memberikan satu untuk saya? Haha!
Saya bukan termasuk pengguna awal aplikasi Clubhouse yang di bulan Februari 2021 ini menjadi sangat populer. Paling tidak, di linimasa media sosial yang saya gunakan seperti Twitter dan Instagram, banyak berseliweran konten atau cuitan mengenai Clubhouse.
Dan, baru di pertengahan Februari lalu saya menginstal aplikasi ini. Jadi, karena (saat ini) aplikasi ini hanya tersedia di untuk platform iOS, sedangkan ponsel utama saya justru dengan sistem operasi Android, jadi saya tidak terlalu sepenasaran itu. Apalagi, saat ini memang masih dalam tahap invite only.
Akhirnya, saya instal Clubhouse di iPad saya. Dan, ternyata saya sudah semacam diundang terlebih dahulu oleh salah seorang pengguna awal Clubhouse. Jadi, begitu saya daftar, saya malah langsung punya akun aktif.
Saya eksplorasi dan akhirnya bergabung dalam beberapa diskusi. Menarik sebelumnya, karena seolah mencari tongkrongan secara virtual — dan hanya audio saja. Dan, menarik juga. Saya belum ketemu “tongkrongan wajib”, tapi sudah ada beberapa ‘room' yang sepertinya menarik untuk diikuti.
Selama hampir satu tahun berada dalam masa pandemi — dan entah sampai kapan pandemi ini akan berakhir — saya memang beberapa kali memutuskan untuk berada di luar rumah, untuk bekerja. Tentu, dibandingkan dengan masa sebelum pandemi, aktivitas ini sangat berkurang.
Saya coba hitung, kalau tidak salah, secara total saya hanya pernah empat kali duduk di tempat yang memungkinkan saya untuk bekerja — membuka laptop. Namun, itupun belum tentu saya bekerja dan dalam periode waktu yang tidak terlalu lama (tidak sampai seharian).
Selain di warung kopi — yang didesain dan dikelola untuk sekaligus menjadi coworking space — saya akhirnya juga kadang bekerja dari hotel. Agak berbeda memang, karena bagi saya hotel dari dulu bukan opsi utama jika ingin sekadar duduk, membuka laptop, lalu bekerja.
Seluruh cerita terkait dengan pengalaman menggunakan layanan/area di Prime Plaza Hotel Yogyakarta (PPH Yogyakarta) merupakan pengalaman pribadi, dan tidak memiliki afilitasi/kerjasama dengan pihak hotel. Semua biaya yang muncul merupakan biaya pribadi. Pengalaman berbeda mungkin terjadi, dan saya mendorong untuk mengkonsultasikan dengan pihak hotel, jika diperlukan. Semua foto merupakan koleksi pribadi.
Paket “Work From Hotel” ini sebenarnya merupakan sebuah alternatif terkait dengan pemesanan makanan di hotel. Secara prinsip, tanpa harus menggunakan opsi paket “Work From Hotel (WFH)” , tetap bisa saja memesan makanan dari resto, untuk dinikmati di area resto, dan mulai bekerja di tempat yang tersedia.
Untuk kunjungan pertama, saya coba paket seharga Rp55.000. Secara umum, ada beberapa pilihan “paket” yang dapat dipilih sesuai selera, yaitu:
Harga tersebut adalah harga termasuk pajak. Dan, ini dapat digunakan selama jam operasional hotel yaitu setiap hari (termasuk Sabtu dan Minggu), mulai pukul 07.00-23.00 WIB. Informasi lebih lengkap bisa dilihat di https://work-from-hotel.web.app, tapi tetap ada baiknya juga menghubungi narahubung melalui WhatsAppp.
Jam operasional hotel ini lebih memberikan fleksibilitas. Walaupun saya memanfaatkan di jam kerja saja, dan tidak seharian penuh juga pada akhirnya.
Setelah memarkir kendaraan saya, saya menuju ke area lobi untuk pemeriksaan suhu, menggunakan hand sanitizer dan memindai QR Code yang perlu saya isi sebagai tamu. Pengisian data ini menggunakan Google Form. Area parkir roda dua dan empat tersedia di bagian depan dan sangat luas menurut saya. Oh ya saya masuk melalui pintu masuk utama di Jl. Affandi.
Oleh petugas di lobi, saya ditanyai ada keperluan apa/mau kemana, saya sampaikan mau ke restoran. Dan, selanjutnya lancar saja. Saya sempatkan ke resepsionis, dan diarahkan untuk langsung saja ke area Colombo Pool Terrace, yaitu restoran yang semi outdoor, yang lokasinya ada di samping kolam renang.
Petugas restoran menyambut saya dengan ramah, dan sepertinya cukup well-informed bahwa ada tamu yang datang untuk “Work From Hotel”. Saya ambil tempat duduk agak di pinggir. Saya amati sekilas untuk akses ke colokan listrik juga tersedia di bawah meja.
Saya tidak punya ekspektasi untuk minuman atau snack yang saya dapatkan untuk harga Rp55.000 yang saya bayarkan. Jadi ya tunggu saja. Setelah saya duduk, beberapa saat kemudian saya diinformasikan mengenai akses internet yang bisa digunakan, dan selanjutnya saya ditawarkan apakah mau minum teh atau kopi. Siang itu, saya merencanakan mungkin akan berada disana sekitar 2-3 jam saja. Jadi apapun yang disajikan saya perkirakan cukup untuk menemani saya siang itu.
Akhirnya saya tidak jadi membuka laptop, dan bekerja dari iPad saya. Untuk minuman, saya memilih kopi — yang akhirnya kopi ini bisa untuk porsi dua gelas. Kopinya sendiri merupakan black coffee, dimana ini sesuai dengan ekspektasi saya. Mungkin jika ingin yang selain kopi, bisa memilih teh, yang sepertinya penyajian juga hampir sama. Snack dan sedikit cemilan cukup untuk menemani kopi dan waktu bekerja.
Pengalaman pertama saya untuk mencoba alternatif tempat bekerja di hotel kali ini cukup menarik. Saat saya datang, ada beberapa tamu hotel atau pengunjung yang sedang ada di area restoran. Tapi, karena area cukup luas dan penataan meja/kursi cukup lapang, jadi ya tidak masalah juga. Oh ya, karena area ini semi outdoor, jadi untuk yang mungkin membutuhkan tempat merokok, area ini cukup baik. Ya, walaupun saya sudah tidak merokok juga. Ada sebenarnya pilihan untuk area restoran yang indoor dengan AC. Tapi, saat itu saya memagn lebih tertarik yang semi outdoor.
Bulan lalu, tanpa terlalu direncana, kami malah mampir ke kawasan wisata Kaliurang, lebih tepatnya ke Telogo Putri. Tidak terlalu banyak ekspektasi, kecuali untuk sekadar keluar rumah dan mengunjungi tempat terbuka. Berutung lokasi Kaliurang tidak terlalu jauh, hanys ekitar 20km saja dari rumah.
Waktu itu hari masih cukup pagi, jadi harapannya memang jalanan dan lokasi belum terlalu ramai.
Beruntung pagi itu cuaca cukup baik. Dan, sesampai di kawasan Kaliurang, kabut cukup tips, cuaca dingin, dan tidak terlalu banyak orang. Kawasan parkir Telogo Putri pagi itu juga tidak terlalu ramai dengan kendaraan pribadi.
Saya lupa kapan kali terakhir saya ke tempat ini, tapi lebih dari dua atau 3 tahun lalu. Kali ini, tentu saja berbeda. Selain bawa anak, lokasi juga terlihat berbeda. Lebih sepi. Tentu ini terkait karena memang operasional tidak seperti dulu. Sekarang, banyak tempat cuci tangan, dan spanduk informasi untuk tetap menjalankan protokol kesehatanCOVID-19.
Awalnya sempat ingin masuk. Tapi, loket tiket tertutup rapat. Mungkin memang sedang ditutup sementara, atau belum buka. Tak mengapa, karena memang tujuan utama kami hanya sekadar jalan-jalan saja.
Para penjual jadah tempe dan aneka jajanan masih ada seperti biasa. Warung makan ada yang buka, tapi sepertinya lebih banyak yang tutup. Sedih juga sebenarnya melihat kondisi ini. Kami saat itu tidak membeli jajanan apa-apa.
Oh ya, yang jelas terlihat berbeda adalah begitu banyaknya terlihat monyet di sekitar kawasan luar loket tiket. Ada yang di warung-warung makan. Ibu-ibu pemilik warung sepertinya juga sudah cukup terbiasa dengan kondisi ini. Sepertinya mereka turun dari hutan untuk mencari makan. Sempat saya lihat ada beberapa monyet keluar dari warung yang pintunya tidak tertutup rapat sambil membawa seplastik kerupuk.
Dan, ketika mau pulang, ada beberapa orang yang baru saja membeli oleh-oleh, plastik bawaan yang berisi makanan juga “dirampas” oleh monyet. Jadilah plastik pembungkus sobek, dan makanan berceceran. Tak butuh waktu lama kawanan monyet mendekat untuk berebut.
Dengan menggabungkan video yang kami kumpulkan dari sumber terbuka, Tim Buka Mata Narasi menyusun kembali secara rinci, menit demi menit pembakaran Halte TransJakarta Sarinah pada 8 Oktober 2020. Hasil analisis kami menemukan bahwa para pelaku memang datang untuk membakar Halte TransJakarta dan memperburuk situasi aksi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja.
Dari sekian banyak industri dan bisnis di dunia, indsutri perjalanan mungkin salah satu yang terkena dampak sangat besar, dan sangat cepat. Tak butuh berbulan-bulan untuk dampaknya langsung dirasakan.
Karena orang juga mulai berpikir ulang untuk bepergian entah untuk urusan pekerjaan atau hiburan, industri penerbangan — yang otomatis juga memengaruhi industri lain dalam sektor pariwisata — langsung perlu penyesuaian. Mulai dari pengurangan rute, pengurangan frekuensi penerbangan, termasuk pengurangan beban operasional lainnya.
Sedih melihatnya. Ditambah ketika pembatasan perjalanan harus dilakukan karena regulasi dari otoritas.
Thai Airways salah satunya. Untuk tetap membuat operasional berjalan, mereka melakukan beberapa penyesuaian bisnis, melakukan adaptasi, seperti yang dilakukan oleh puluhan, ratusan, atau bahkan jutaan bisnis di dunia.
Restoran Thai Airways
Restoran yang ditawarkan oleh Thai Airways ini memberikan pengalaman makan dengan tema ‘penerbangan'. Dengan menu, armosfer, dan pengalaman khas ala Thai Airways. Tentu, ini juga sudah pasti Thai Airways tidak bisa mengoperasikan penerbangan komersialnya.
Acting THAI president Chansin Treenuchagron told reporters that the fried dough sticks were popular and people formed long queues to buy them each morning at the airline's five food outlets in Bangkok. Monthly sales were around 10 million baht. Encouraged by this, the airline planned to franchise its fried dough sticks, so THAI and its partners could mutually benefit from their popularity.
Saya suka menggunakan layanan Grab dan Gojek. Masing-masing punya kelebihannya sendiri, terutama untuk fitur transportasi, pemesanan makanan, dan pengantaran barang. Untuk Grab, layanan yang paling saya gunakan adalah GrabFood. Layanan transportasi seperti GrabBike dan GrabCar juga kadang saya gunakan. Namun, sejak pandemi COVID-19, sudah lebih dari 7 (tujuh) bulan saya tidak menggunakan kedua layanan transportasi ini.
Sampai minggu lalu, akhirnya saya menggunakan layanan transportasi dari Grab, yaitu GrabCar. Layanan ini akhirnya saya gunakan karena saya perlu melakukan perjalanan, dan saya memang tidak membawa mobil sendiri. Dari pilihan yang ada yaitu menggunakan layanan kendaraan roda dua atau roda empat, saya memutuskan untuk memilih layanan roda empat (GrabCar). Grab juga menjadi salah satu opsi saya ketika di Jogjakarta, ataupun ketika saya bepergian ke Jakarta.
Ketika melihat pilihan armada di aplikasi Grab, saya diberikan saran untuk menggunakan layanan GrabCar Protect selain GrabCar, GrabTaxi, GrabCar Plus, GrabCar 6, dan GrabGerak. Dan, saya bepergian sendirian.
GrabCar Protect adalah transportasi khusus yang menyediakan layanan ekstra dalam keamanan dan kenyamanan perjalanan dalam situasi COVID-19.
Jadi, diantara opsi yang ada, jika konteksnya adalah opsi paling “aman”, maka GrabCar Protect seharusnya menjadi pilihan utama. Dan, dibandingkan dengan opsi kendaraan yang lain, harga juga sedikit lebih mahal (jika dibandingkan dengan GrabCar, bahkan GrabCar Plus dan GrabCar 6. Masih tentang GrabCar Protect ini, kalau di aplikasi, ada beberapa hal yang dituliskan, yaitu:
Kapasitas 1-3 penumpang
Partisi plastik untuk melindungi pengemudi dan penumpang
Pengemudi mendapatkan pelatihan khusus dan SOP
Pengemudi dengan APD (masker, sarung tangan, pembersih tangan)
Penyemprotan desinfektan secara berkala pada mobil
Tarif yang tertera termasuk biaya pemesanan senilai Rp4.000 yang mencakup inovasi fitur keselamatan terbaru, pelatihan pengemudi, asuransi perjalanan dan biaya operasional lainnya.
Sedikit tambahan dalam deskripsi juga ada keterangan “Extra protection from Lifebuoy”. Dengan segala informasi tersebut, cukup menjadi alasan bagi saya untuk akhirnya memilih GrabProtect.
Perjalanan Pertama: Puas dan Menyenangkan
And, I felt safe.
Itulah pengalaman yang saya dapatkan ketika kali pertama menggunakan layanan ride sharing Grab dengan armada GrabProtect. Jelas saja ekspektasi jauh berbeda dibandingkan sebelum masa pandemi COVID-19.
Kenapa saya puas dan perjalanan pertama di hari itu berlangsung dengan menyenangkan dan ada perasaan aman? Karena:
Sekat partisi antara kabin pengemudi dengan penumpang terpasang dengan baik
Pengemudi menggunakan masker
Kondisi mobil bersih
Ada cairan hand sanitizer di kantong pintu penumpang
Dengan kondisi tersebut, saya tidak keberatan juga untuk diajak mengobrol, walaupun memang tidak sepanjang perjalanan. Saya sendiri juga menggunakan masker, kacamata, dan juga membawa hand sanitizer dalam tas.
Setelah selesai perjalanan, dengan senang hati saya memberikan rating 5, walaupun pengemudi juga tidak spesifik meminta saya memberikan rating 5.
Perjalanan Kedua: Tidak Begitu Menyenangkan
Dari begitu banyaknya perjalanan yang saya lewati menggunakan Grab atau Gojek, saya kadang tetap bisa menerima misalkan perjalanan bisa dikatakan “tidak sempurna”. Pengemudi agak ngebut, saya masih OK terlebih ketika terlihat juga percaya diri dalam membawa kendaraan. Salah rute, saya juga pernah. Memilih untuk turun karena tujuan terlanjur dilewati daripada harus putar balik dengan jarak yang jauh, saya juga tidak keberatan.
Nah, perjalanan kedua dengan armada GrabCar GrabProtect di hari yang sama kemarin bisa dikatakan tidak begitu menyenangkan. Kenapa?
Driver tidak menggunakan masker! Saya tahu, sudah ada sekat antara pengemudi dan penumpang, tapi tidak menggunakan masker bukan sebuah gesture yang baik menurut saya. Karena, tetap saja, mobil adalah sebuah tempat dengan area yang tertutup dan ada sirkulasi dari AC.
Tidak ada hand sanitizer yang dapat diakses secara mandiri oleh penumpang. Entah memang tidak ada, atau sebelumnya ada tapi ketika saya naik tidak ada disana. Walaupun, ini tidak terlalu masalah bagi saya karena saya sudah bawa sendiri.
Dan, dibandingkan dengan pengemudi sebelumnya, dengan tidak menggunakan masker justru pengemudi yang ini lebih sering mengajak ngobrol. Saya tidak begitu nyaman, tapi saya juga coba tetap sopan dengan menjawab seperlunya. Foto sengaja tidak saya publikasikan dalam artikel ini, namun ada dalam ponsel saya. Saya sengaja tidak menegur, karena saya masih ragu dengan reaksi yang akan saya terima. Mungkin saya kurang tepat membiarkannya, tapi saya sadar dengan keputusan saya saat itu.
Selesai perjalanan, saya tetap mengucapkan terima kasih, dan pengemudi meminta saya untuk jangan lupa memberi bintang 5. Sebenarnya, kalau mau fair, saya ingin memberi bintang 3. Tapi, niat tersebut saya batalkan. Saya memilih untuk tidak memberikan rating sama sekali.
Mungkin saya berlebihan, tapi dalam kondisi yang agak khusus saat ini, dengan adanya opsi dari penyedia layanan bagi konsumen, tentu hal tersebut merupakan sesuatu yang harus diapresiasi. Semoga penyedia layanan seperti Grab dalam kondisi ini juga memperketat prosedur operasional. Tapi, pengemudi dan penumpang juga memegang peranan penting sehingga kondisi aman dan nyaman bisa terpenuhi.
Walaupun masih dalam masa pandemi COVID-19, Perusahaan umum Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) membuka beberapa rute baru di Yogyakarta, untuk menjangkau beberapa tempat wisata — khususnya pantai — dan termasuk Yogyakarta International Airport (YIA).
Bupati Bantul Suharsono saat meresmikan DAMRI Palbapang-YIA di Terminal Palbapang, Kamis (17/9/2020) (Sumber foto: Jumali/Harian Jogja)
Khusus untuk tujuan pantai, memang ini masih menjadi tantangan tersendiri, karena angkutan umum publik yang selama ini memang bisa dikatakan cukup minim. Layanan seperti Grab atau Gojek mungkin masih menjadi opsi yang lebih menarik walaupun secara biaya juga tidak tergolong murah. Tapi, itu opsi yang mungkin terbaik.
Opsi lain, tentu saja dengan menggunakan kendaraan pribadi, termasuk bagi wisatawan yang datang ke Jogja, bisa saja dengan menyewa sepeda motor.
Tarif dan Rute
Berikut daftar rute dan tarif DAMRI yang bisa dijadikan rujukan. Rute ini mulai beroperasi pada 15 Oktober 2020.
Tulisan ini bukan tulisan bersponsor. Saya tidak mendapatkan imbalan ataupun memiliki kerjasama dengan seluruh merek/produk yang disebutkan dalam tulisan ini. Semua yang saya tulis merupakan pendapat pribadi.
Tujuannya tetap, supaya kegiatan bebersih jadi sedikit lebih enteng, karena sudah sekitar tujuh bulan ini benar-benar tanpa ART dengan kegiatan bebersih rutin tiap hari untuk menyapu dan pel antara 1-3 hari, tergantung kondisi lantai juga, karena kebetulan tempat tinggal kami memiliki dua lantai. Pilihan akhirnya jatuh kepada keputusan untuk membeli robot vacuum cleaner. Masalahnya, pilihannya begitu banyak. Bukan hanya soal merek, tapi juga fitur, rentang harga juga cukup bervariasi.
5 alasan saya mengapa akhirnya membeli robot vacuum cleaner atau robot penghisap debu
Sudah cukup lama sebenarnya saya tertarik untuk beli, namun karena dulu masih merasa belum perlu — karena ada ART, dan merasa untuk membersihkan lantai juga masih bisa dilaukan sendiri — jadi keinginan tersebut selalu ditunda.
Bagi kami, beberapa hal yang menjadi pertimbangan:
Efisiensi waktu, tenaga, dan biaya Untuk menyapu lantai satu (bagian area dalam dan semi outdoor), kadang masih dlanjutkan dengan mengepel. Lantai dua beberapa area memang tidak disapu tiap hari, hanya yang benar-benar ada aktivitas rutin seperti kamar tidur dan ruang kerja. Area lain kadang juga disempatkan. Dengan tanpa ART, jadilah urusan lain juga harus beres. Jadi, mengenai biaya, budget untuk ART ini bisa dialihkan untuk membeli robot vacuum cleaner ini — karena kami juga belum menggunakan jasa bebersih yang bisa datang harian. Paling tidak, jikapun tidak dipel, tapi lantai sudah disapu.
Portabel dan nirkabel Karena sifatnya portabel, jadi cukup mudah untuk saya gunakan di lantai satu dan lantai dua, walaupun charging dock memang hanya ada satu. Mungkin satu saat kalau ada rejeki, bisa ada satu lagi. Amin. Berbeda dengan alat vacuum yang menggunakan kabel, dengan tanpa kabel otomatis penggunaan juga jadi lebih fleksibel secara jangkauan.
Otomatisasi Karena memiliki fitur yang cukup canggih dan terintegrasi dengan beberapa model pengaturan, jadi lebih fleksibel dalam operasional. Termasuk untuk urusan pengisian baterai. Jadi, saya tinggal atur misalnya kapan si ‘robot' ini harus membersihkan dan area mana saja — misal jam 22.00 WIB.
Ukuran ringkas dan minim perawatan Untuk ukuran juga menjadi penting. Dengan ukuran yang cukup mini, penyimpanan juga lebih tidak makan tempat. Selain itu, robot vacuum cleaner semacam ini juga memiliki bobot yang tidak terlalu berat. Mengenai perawatan, selain beberapa aksesories yang seharusnya juga mudah didapatkan dari produsen, komponen lain juga tidak terlalu rumit untuk perawatannya.
Jangkauan lebih luas dan menyedot debu dengan lebih baik Area bawah tempat tidur merupakan area yang cukup sulit untuk dibersihkan, disamping ada juga sofa untuk tamu dan sofa bed. Selain susah dijangkau sepenuhnya dengan sapu, pun sudah disapu biasanya kotoran dan terutama debu cenderung berpindah tempat. Jadi, kalau disapu, debu malah justru terbang kemana-mana. Untuk tempat tidur, kebiasaan selama ini jika membersihkan saya lebih sering geser dipan dan tempat tidur, disapu, dipel, kemudian dikembalikan lagi.
Pertimbangan menentukan pilihan robot vacuum cleaner
Setelah memiliki pertimbangan yang cukup, saatnya memilih: produk robot vacuum cleaner mana yang paling cocok (untuk kami)? Secara umum, ada dua hal yang menjadi pertimbangan:
Tulisan ini bukan tulisan bersponsor. Saya tidak mendapatkan imbalan ataupun memiliki kerjasama dengan produsen penghisap debu merek Kurumi ini. Semua yang saya tulis merupakan pendapat pribadi, hasil/pengalaman berbeda dalam menggunakan produk ini tentu sangat mungkin terjadi.
Karena ada di rumah terus selama pandemi, secara otomatis justru makin melihat barang-barang di rumah setiap hari dengan sedikit lebih detil dari biasanya.Dan, beberapa barang yang awalnya jarang terpakai, akhirnya jadi harus dimanfaatkan kembali. Misalnya karpet.
Musim kemarau ini otomatis debu memang jadi cenderung lebih banyak. Dan juga, beberapa rumah di lingkungan perumahan — yang lokasinya sangat dekat dengan rumah saya — sedang banyak aktivitas renovasi. Jadi, selain urusan suara mesin potong, ataupun ketokan palu, debu otomatis jauh lebih banyak.
Apalagi, kalau sudah sampai tahap memotong keramik. Bahkan, saat ini tetangga belakang persis, sedang merenovasi rumah, dan memotong keramik sudah beberapa hari belum selesai. Jadilah, bagian belakang sebisa mungkin ditutup rapat. Tapi, debu potongan keramik kan benar-benar halus ya.
Terbang, mendarat di lantai, kena kaki, masuk rumah… Duh!
Menjajal Kurumi KV 01
Sebenarnya ada vacuum cleaner di rumah, namun model sangat lama, dan sepertinya sudah waktunya dipensiunkan. Oh. ya, proses akhirnya menjajal ini termasuk tidak sengaja. Ketika istri sedang lihat-lihat untuk menyewa permainan untuk anak di rumah, ternyata tempat persewaan tersebut juga menyewakan Kurumi seri KV 01 ini.
Singkatnya, akhirnya kami coba sewa beberapa hari. Tidak ada ekspektasi yang berlebihan, namun daya sedot yang kuat, ada fitur antibacterial UV Light sudah cukup dijadikan alasan.
Kurumi KV 01 yang kami sewa tersedia dalam varian warna merah. Kali pertama datang dan saya buka dari kardus lalu saya pegang, kesan pertama yang saya rasakan adalah alatnya ternyata cukup berat. Dan, ini dioperasikan langsung dengan dipegang tangan, tanpa alat bantu lainnya.
Ada beberapa barang di rumah kami yang memang diprioritaskan untuk dibersihkan mumpung ada alat ini diantaranya sofa utama ruang tamu beserta dengan bantal-bantalnya, sofa bed, kasur tempat tidur, dan karpet. Dimana semuanya adalah barang-barang yang hampir setiap hari digunakan atau bersentuhan.
Karena debu dan partikel kecil memang sangat sulit untuk terlihat, jadilah baru terlihat seberapa kotor barang-barang yang di rumah.