Tentang Keterlaluan dan Bersyukur

Dalam beberapa kesempatan, pikiran kita dapat dikuasai oleh persepsi-persepsi yang entah kita ciptakan sendiri secara sadar maupun tidak. Bahkan, tak jarang bahwa kita tidak butuh orang lain sama sekali untuk membentuk sebuah persepsi tentang diri kita. Beberapa minggu ini, dalam khotbah ibadah dan diskusi kecil dalam kumpulan gereja atau cukup sering diingatkan tentang topik ini.

Sebagai satu dari milyaran penduduk bumi dan sebagai manusia yang sangat biasa saja, kita tentu bisa memiliki segudang persepsi. ‘Hidup saya sangat tidak beruntung!’, ‘Sial sekali hidup saya….’, ‘Saya tidak punya apa-apa lagi. Habis sudah!’. Itu mungkin hanya sedikit dari begitu banyaknya pernyataan pribadi yang terlintas di kepala.

Namun…

Keterlaluan sekali kalau persepsi yang cenderung negatif justru lebih menguasai dan bahkan menutup mata untuk dapat melihat bahwa sebenarnya begitu banyak yang dapat dan seharusnya disyukuri.

Keterlaluan sekali kalau berpikir bahwa hidup ini sangat sial, sedangkan setiap pagi masih bangun bisa bangun pagi, beranjak dari tempat tidur untuk mandi dan beraktivitas.

Keterlaluan sekali kalau bilang tidak punya apa-apa kalau keluar rumah bisa memiliki sebuah tujuan akan kemana hari ini dengan kondisi badan yang sehat, bahkan sempat menikmati sarapan pagi.

Keterlaluan sekali kalau merasa bahwa hidup merasa sepi dan terpuruk dalam sebuah perasaan sedih sedangkan tak jauh dari kita ada keluarga dekat yang bisa untuk saling menguatkan.

Keterlaluan sekali kalau harus menghabiskan begitu banyak waktu memikirkan dan menempatkan diri sendiri dipenuhi dengan hal-hal yang merusak hati, padahal apa yang terjadi di sekitar kita semua berjalan dengan baik-baik saja.

Keterlaluan kalau sampai tidak bisa melihat begitu banyak yang bisa disyukuri.