Taksi di Jakarta: (Kadang) Menyenangkan dan (Kadang) Menyebalkan)

Selama tinggal di Jakarta, saya mencoba untuk merasakan beberapa moda transportasi yang ada. Ini mungkin salah satunya untuk memenuhi hasrat ingin tahu saya. Ada yang bilang hanya kalau di Jakarta itu hanya ada beberapa perusahaan taksi yang direkomendasikan, misalnya yang berwarna biru atau putih.

Kalau tidak jauh, bisa naik ojek atau bajaj. Kalau mau merasakan sensasi lain, bisa coba Kopaja atau Metromini. Atau mau coba Busway Transjakarta? Bisa juga. Diantara pilihan transportasi ini, beberapa kali saya mendapati pengalaman berbeda dengan menggunakan taksi. Ada yang menyenangkan, ada pula yang menyebalkan.

Menyenangkan ketika perjalanan sampai ke tujuan ditempuh melalui rute yang sesuai. Mungkin tidak mengambil rute terdekat, tapi kalau misalnya jauh lebih lancar, saya pilih opsi ini. Hal yang menyenangkan lainnya adalah ketika pengemudi taksi cukup akrab ketika diajak ngobrol. Ya, saya kadang suka memancing pembicaraan sesekali daripada berdiam diri di dalam taksi. Hasilnya, beberapa kali terlibat pembicaraan mulai dari sepakbola, kemacetan, Jakarta, bahkan sampai prostitusi. Bagi saya, ya itung-itung informasi gratis. Eh, bukan tentang prostitusi tapi hal lainnya.

Dari kesemuanya itu, yang paling penting adalah jika pengemudi taksi tahu jalan dan tidak melalui rute-rute ajaib. Entah rute tersebut diambil karena ketidaktahuan, atau memang karena kesengajaaan. Saya tidak ingin menuduh yang macam-macam, tapi kadang ketika ini berurusan dengan rute dan perjalanan, saya sering menjadi kesal.

Misalnya, saya pernah menggunakan taksi berwarna biru dari daerah Gandaria menuju ke Kemang. Oh ya, salah satu yang membantu saya adalah peta — dengan GPS — di ponsel saya. Sialnya, saat itu kondisinya mati karena kehabisan baterai. Jadi, harapan saya adalah kepada pengemudi taksi. Oh ya, dan saat itu adalah kali pertama saya ke daerah Gandaria tersebut. Setelah menunggu agak lama, akhirnya ada sebuah taksi lewat. Setelah naik, taksi mulai berjalan. Saya sampaikan tujuan saya: Kemang.

Sebenarnya memang bukan Kemang persisnya, tapi saya mengambil asumsi saja bahwa pengemudi taksi tahu daerah Kemang. Dan dari situ, saya sudah cukup tahu jalan. Jawaban pengemudi taksi cukup mengagetkan, “Wah, Kemang lewat mana ya, Mas?” Begitu kurang lebih dia bicara. Aduh! Saya coba pendekatan lain untuk menuju Blok M saja. Dan lagi-lagi, tak tahu jalan. Sial!

Akhirnya, karena sama-sama tidak tahu, saya asal saja bilang belok kanan, belok kiri, dan seterusnya. Pengemudi taksi juga ikut bingung. Sebenarnya terpikir juga untuk turun, tapi saya mencoba nekat saja. Karena seingat saya, jarak dari Blok M tidak begitu jauh. Itu yang saya ingat ketika berangkat menuju daerah Gandaria. Setelah beberapa saat, akhirnya taksi melaju dan… tembus di Bundaran Senayan! Nah, saya tahu daerah ini. Dan saya tahu kalau taksinya nyasar! Hehehe…

Karena sudah nyasar, akhirnya saya minta turun saja di depan Ratu Plaza untuk menyebarang ke arah sebaliknya. Dari sana saya berganti taksi lagi, dan menuju ke daerah Kemang. Oh ya, ketika saya mau turun dari taksi tersebut, saya baru tahu kalau pengemudi taksi itu masih baru di Jakarta. Baru beberapa hari di Jakarta dan belum hafal jalanan. Duh! Tapi ya sudah, hitung-hitung pengalaman.

Itu adalah salah satu contoh kejadian. Ada pula kejadian lain beberapa hari yang lalu. Beberapa kali saya menggunakan taksi warna putih dengan inisial taksi E, saya hampir tidak pernah mengalami hal mengecewakan. Rute yang saya ambil adalah dari daerah Langsat menuju daerah Kemang. Saya tahu kalau dari sisi argo, perjalanan saya tidak akan habis lebih dari Rp 20.000,00. Bukannya sok murah hati, tapi kadang saya kasihkan saja ongkos Rp. 20.000,00. Saya tidak keberatan dengan itu. Karena bukan kali pertama, jadilah saya tahu rute yang seharusnya dilewati.

Malam itu, saya naik dari tempat biasanya. Awalnya rute seperti biasa. Entah karena saya dianggap orang tidak tahu jalan atau bagaimana, tiba-tiba saja rute berubah.  Karena sudah malam, taksi melaju kencang. Ketika naik, saya sempat bilang lewat Blok M. Hasilnya, lewat Masjid Agung, kemudian sampai di Bundaran Senayan. Sebenarnya, saya sudah menyadari ini ketika sampai di daerah Bulungan. Tapi, pengemudi sepertinya “sengaja” mengambil rute ini. Apakah karena saya tidak protes? Bisa jadi. Akhirnya, ketika mendekati Ratu Plaza, saya bilang, “Pak, saya turun sini saja, sebelum tambah jauh…” Dan saya lanjutkan dengan berbicara pelan seolah-olah ngomong sendiri, “Oke, nomor taksinya EC XXXX…” (Saya masih ada catatan nomor lambung taksi tersebut). Saya bayar penuh ongkos taksinya, saya ucapkan terima kasih dan saya turun. Entah apa yang ada dipikiran bapak pengemudi taksi itu. Tapi, apa yang ada dipikiran saya saat itu ya? :D


Comments

2 responses to “Taksi di Jakarta: (Kadang) Menyenangkan dan (Kadang) Menyebalkan)”

  1. Kayaknya lbh baik naik taksi yg sopirnya tdk tahu daripada yg sok tahu atau sengaja menyasarkan rute.

    1. Kalau harus memilih, saya juga memilih itu. Saya terus terang menghargai juga ketika diawal supir taksi bilang tidak tahu. Dan, ketika saya memutuskan untuk melanjutkan (tidak pindah taksi), saya juga siap dengan resikonya.

      Betul, sengaja menyasarkan rute itu nyebelin banget itu!