Sebelum Anda membaca informasi lanjutan, jika Anda ingin menghapus koneksi piranti/device dari akun Jenius Anda saat ini, karena ingin menggunakan piranti yang lain, hubungi layanan nasabah — Jenius menyebutnya dengan Jenius Help — di nomor 1500365.
Semoga berhasil.
Cara jenius untuk menghapus koneksi piranti akun Jenius
Saya sendiri memang belum menelpon untuk penghapusan koneksi piranti. Sedikit beruntung, karena ponsel saya yang sebelumnya terhubung ke Jenius dapat saya gunakan. Hal yang pertama saya lakukan adalah memindahkan seluruh saldo ke rekening bank yang lain. Saya benar-benar sangat tidak tertarik menggunakan layanan Jenius ini.
Sebelumnya, saya pernah mencoba mengirimkan surel ke Jenius Help menanyakan apakah penghapusan/unlink piranti dapat dilakukan melalui kontak surel. Jawabannya: tidak.
Dapat kami sampaikan untuk proses unlink device layanan email service tidak dapat melakukan penanganan karena keterbatasan akses. Bapak dapat hubungi Jenius Help 1500365 agar dibantu oleh rekan kami.
Jawaban Jenius terhadap permintaan penghapusan device/unlink melalui surel.
Ketika sedang dalam posisi login di piranti yang aktif, ada menu untuk menghapus koneksi piranti (utama). Ini tidak dapat digunakan juga. Ketika saya coba, ada notifikasi bahwa hal tersebut tidak dapat dilakukan, dan dipertegas melalui notifikasi surel.
Jenius mendeteksi kamu baru saja mencoba untuk menghapus perangkat (unlink device) melalui aplikasi. Untuk sementara, layanan penghapusan perangkat tidak tersedia. Jika kamu tetap ingin melakukannya, silakan hubungi Jenius Help di 1500 365.
Notifikasi melalui surel, padahal menu/fitur ada di aplikasi. Ternyata tidak bisa digunakan juga.
Bagaimana kalau dicoba keluar/logout dari aplikasi Jenius? Bahkan, keluar aplikasi saja saya tidak bisa. Haha!
I have all the features I need. The initial migration to move all my LastPass data to Bitwarden was also easy. After that I did not save any new data to LastPass.
LastPass is a good product. It increases its subscription price time to time. In 2017 — when I subscribed to it — I needed to pay $12. A year later, the subscription fee was $24. And lastly in 2019, LastPass increased the subscription fee to $36/a year. The price is for the annual billing cycle. For monthly subscription, the price will be a little bit higher.
The price above actually almost in the same price range like what other password manager services. So, during the time period, it was more about choosing which service to be used. Thank you, Last Pass for making my digital life become easier in the last four years.
Deleting LastPass account
Now, it’s Bitwarden time. I started by using the basic free account. Yes, it’s a free account. It offers the core features for a good password manager. Basically, it should be enough for those who start to use password manager.
If I need more features, for a single-user account, its Premium Account is $10/year. It’s in a good price range, I think.
Kursi kerja di rumah yang saya pakai memang beberapa kali ganti. Tapi, bukan karena beli melainkan karena saya ada beberapa kursi. Jadi berusaha untuk menemukan kursi yang paling pas. Ada satu kursi dari IKEA yang cukup cocok. Bukan kursi yang empuk dan mewah, tapi secara desain lebih cocok.
Dan, rata-rata kursi memang kurang sesuai untuk saya karena kurang tinggi. Ya, ada sedikit tantangan memang untuk saya yang memiliki tinggi hampir 180cm.
Selain kursi dari IKEA tadi, ada satu buah kursi dengan pegas/hidrolik di rumah, yang dalam kondisi cukup bagus. Masalahnya, pegas/hidrolik tidak berfungsi lagi. Dengan segala hal alasan yang membuat malas untuk mencari solusi, akhirnya kemarin memutuskan untuk mereparasi kursi ini. Targetnya, pegas bisa berfungsi kembali, sehingga kursi bisa lebih tinggi lagi. Walaupun, saya yakin pasti akan tetap kurang tinggi.
Kenapa tidak beli atau mengubah tinggi meja? Saat ini, ini bukan solusi.
Mencari Jasa Reparasi Kursi di Jogjakarta
Catatan
Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi pada awal Maret 2021. Pengalaman/hasil mungkin berbeda, namun saya mendapatkan pengalaman dan layanan yang baik, dan dengan senang hati merekomendasikannya.
Setelah melakukan pencarian melalui internet, saya menemukan beberapa opsi. Saya kontak beberapa layanan melalui WhatsApp/nomor yang tersedia. Dan, hanya satu yang membalas. Saya memang memilih untuk jasa yang tersedia tidak terlalu jauh dari tempat saya.
“Service & sparepart kursi kantor” adalah nama yang saya temukan di mesin pencarian. Lokasinya ada di sisi barat ring road Yogyakarta, dan tidak jauh dari tempat saya. Ketika saya hubungi melalui WhatsApp, saya langsung sampaikan apakah bisa dilakukan servis, dengan sedikit menjelaskan masalah di kursi saya.
Alih-alih memberikan jawaban untuk ganti pegas/hidrolik, saya diberi opsi apakah mau “dikunci tingginya” saja. Jadi, tidak bisa naik turun lagi. Solusi ini jauh lebih murah, kalau mau diambil. Dan, pengerjaannya juga lebih cepat. Harganya Rp40.000,- saja kalau service ini. Kalau ganti hidrolik, ada di kisaran Rp180.000,- — tapi ini mungkin bisa berbeda bergantung jenis kursinya.
Tanpa tunggu lama, saya langsung saja janjian untuk datang ke lokasi. Lokasinya agak masuk ke gang, tapi mobil bisa parkir di dekat lokasi atau bahkan kalau agak berat, bisa drop langsung di depannya.
Ternyata yang berkomunikasi di saya adalah pemiliknya langsung, yang belakangan baru saya tahu namanya Mas Hendra. Orangnya ramah, dan memberikan layanan dan informasi yang oke sekali. Ketika datang menjelang jam makan siang, saya memang hanya bertemu dengan dua orang pegawainya. Dan, diminta untuk meninggalkan kursi, untuk diambil nanti. Sebenarnya, saya inginnya langsung dikerjakan, saya tunggu. Tapi, mungkin karena ada antrian, atau yang mengerjakan belum siap.
Sekitar dua jam berselang, saya dihubungi kembali melalui WhatsApp kalau kursi saya sudah siap. Agak sore, saya datang ke lokasi kembali dan langsung ketemu dengan Mas Hendra.
Saya sampaikan saja sebenarnya saya ini butuh kursi ini “lebih tinggi” dari kursi normal. Kondisinya saat saya datang, kursi memang sudah sesuai kondisi aslinya, dan sepertinya sedikit lebih tinggi. Saya tanya, apakah bisa lebih tinggi lagi, ya? Dengan kondisi tetap saja tidak perlu hidrolik, karena lagi-lagi saya tidak perlu terlalu disesuaikan tingginya. Akhirnya diganti lagi besi penyokong kursinya dengan yang lebih tinggi. Setelahnya, saya diminta untuk mencobanya. “Sepertinya ini cukup tinggi, semoga pas,” pikir saya.
Karena ini adalah sparepart terpisah, jadi ada biaya tambahan yang murah juga. Sebenarnya tidak ada patokan, tapi Mas Hendra bilang, Rp10.000,- juga tidak apa-apa. Saya tidak mau, saya akhirnya bayar Rp20.000,-. Kenapa lebih tinggi? Ya, karena saya tidak hanya bayar untuk harga sparepart, tapi juga atas jasanya. I’m buying the good service also!
Jadilah, sore itu saya mengeluarkan biaya total Rp60.000,-. Kalau tanpa ada modifikasi tambahan, total Rp40.000,-. Jadi, kalau memang ini sudah mencukupi, ya harganya sekian. Harga yang sangat oke untuk saya. Apalagi, dengan layanan yang sangat baik.
Sesampai di rumah, saya coba sandingkan dengan meja yang saya miliki. Dan, pas! Posisi duduk lebih nyaman, dengan posisi tangan terhadap meja juga lebih ideal untuk kegiatan bekerja.
Jika tertarik menggunakan layanan ini — bukan hanya servis kursi, tapi termasuk sofa, bahkan kursi barber — silakan langsung ke lokasi di bawah ini.
Service & sparepart kursi kantor Jalan Sadewo, Gang Sencaki Barat No.85, RT.06/RW.12, Area Sawah, Nogotirto, Kec. Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55292 Telepon/WhatsApp: 0823-4997-1874 (Mas Hendra)
I have a small project using Firebase Storage service to serve some static files. By default, all files under a bucket are not accessible for public. To make files available for public access, we need to modify the rules.
In the following example, my bucket is called happybucket123.appspot.com, since I need to give public permission to read, this is what I have in my storage rule.
rules_version = '2';
service firebase.storage {
match /b/happybucket123.appspot.com/o {
match /{allPaths=**} {
allow read;
allow write: if request.auth != null;
}
}
}
The above rule will keep the write access only for the authorised users.
Mulai hari Senin lalu, saya akhirnya akan mencoba untuk menggunakan iPad sebagai piranti utama saya untuk bekerja, menggantikan laptop MacBook Pro saya yang saat ini ada di service center karena kendala terkait baterai.
Jadi, MacBook saya yang sudah berumur tujuh tahun lebih tersebut tidak dapat diisi daya. Sebenarnya kejadian sudah agak lama. Terakhir, pengisian daya sudah sangat lambat, dan indikator baterai menampilkan tulisan “Service Recommended”. Puncaknya, ketika satu atau dua minggu lalu mati listrik, posisi baterai sudah benar-benar hampir habis.
Masih bisa saya hidupkan, tapi indikator baterai selalu dibawah 10%, dan tetap tidak mau diisi baterai. Saya sempat juga ganti charger, tapi tidak berhasil juga. Jadilah, akhir pekan lalu benar-benar laptop tidak bisa menyala.
Saya sempatkan cek riwayat service sebelumnya, kali terakhir melakukan penggantian baterai ternyata sudah sekitar empat tahun lalu. Karena memang saya butuh untuk laptop saya berfungsi normal, saya putuskan untuk melakukan penggantian baterai di salah satu gerai service produk Apple di Yogyakarta bagian utara. Ketika saya serahkan, saya minta untuk dilakukan pengecekan terlebih dahulu. Apakah ini murni karena butuh ganti baterai, atau ada sebab lain. Ya, mungkin bisa dimaklumi karena laptop tersebut sudah cukup berumur.
Mungkin sedikit masalah ketika saya harus masuk ke text editor, atau aplikasi seperti Sequel Pro, dan aplikasi penyuntingan gambar yang walaupun sederhana, tapi tetap saya perlu gunakan. Oh ya, untuk aplikasi misalnya Microsoft Excel, di laptop saya cukup sering untuk membuka dua berkas sekaligus. Hal ini masih cukup mudah dilakukan di iPad, paling tidak saat ini.
Untuk rencana servis, diperkirakan mungkin bisa sampai dua minggu, tergantung nanti hasil pengecekan. Tapi, karena baterai juga harus pesan dulu, jadi paling cepat diperkirakan prosesnya satu minggu saja.
Sesampai di Jakarta pada hari Minggu lalu, saya baru menyadari bahwa ada masalah di iPad saya. Ketika saya buka, ada tulisan “iPad is disabled. Connect to iTunes”. Padahal, seingat saya terakhir kali, iPad tidak ada masalah sama sekali. Kali terakhir adalah malam sebelum saya berangkat ke Jakarta, saya tutup iPad saya bersama dengan Smart Keyboard Folio, lalu saya masukkan tas.
Barulah ketika saya sampai di Jakarta, dan sudah agak malam, saya baru membuka kembali iPad saya. Bukan saat yang tepat untuk mengalami masalah ini, apalagi saya sedang berada di Jakarta.
Penyebab
Saya tidak tahu pasti apa penyebabnya, tapi kemungkinan besar adalah karena terlalu sering terjadi kesalahan passcode. Ini paling masuk akal, dan ada dua kemungkinan kenapa ada pengisian passcode yang salah dalam frekuensi yang banyak — kalau sampai 10 kali berturut-turut, memang iPad akan dalam kondisi disabled untuk alasan keamanan.
Pertama, bisa jadi karena anak saya sempat bermain dengan iPad. Jadi, tanpa sepengetahuan saya sempat memencet papan ketik dan memasukkan passcode yang salah sampai akhirnya iPad disabled. Kemungkinan kedua, bisa jadi karena selama di dalam tas, ada kondisi iPad yang ada dalam tas terguncang. Ya, karena saya memang mengendari mobil, dan tas berisi iPad tersebut saya letakkan di bagasi.
Intinya: iPad tidak bisa dipakai, dan sesegera mungkin masalah ini diatasi.
Terhubung ke iTunes?
Sebenarnya, menghubungkan perangkat seperti iPad atau iPhone ke MacBook yang saya miliki tidak ada masalah selama ini. Masalahnya saat ini adalah, iPad saya menggunakan konektor USB Type-C, sedangkan Macbook saya masih menggunakan USB biasa. Apalagi, sejak kali pertama saya beli, saya memang belum pernah mengkoneksikan iPad ke MacBook dengan kabel.
Saya sempat mencoba kemungkinan untuk pinjam kabel supaya iPad saya dapat terhubung ke MacBook. Tapi, ini juga bukan perkara mudah. Apalagi, selama ini tidak semua aksesories non-Apple bisa berjalan begitu saja. Beberapa teman menawarkan untuk meminjamkan kabel USB ke USB Type-C. Tapi, setelah saya pikir-pikir, sepertinya kecil kemungkinan untuk berhasil.
Dan, salah seorang teman saya juga bilang kalau solusinya ya memang cuma harus restore atau instal ulang. Pilihan saya jelas instal ulang, karena saya memang tidak pernah melakukan backup ke MacBook. Tapi, karena hampir semua berkas sudah tersinkronisasi ke beberapa layanan berbasis awan, jadi saya tidak terlalu khawatir.
Instal Ulang
Saya segera cari dimana lokasi saya bisa melakukan instal ulang iPad saya keeseokan harinya, sepagi mungkin. Saya lihat opsinya ada di Plaza Indonesia atau Grand Indonesia.
Senin pagi, akhirnya saya meluncur ke Plaza Indonesia terlebih dahulu. Setelah memarkir kendaraan di basement, saya menuju ke pintu masuk dari arah tempat parkir. Saat itu waktu menunjukkan pukul 10 pagi, lebih sedikit. Saya pikir sudah buka. Ternyata, satpam bilang belum buka kalau mau ke salah satu service center yang saya sebutkan. Saya diminta datang saja nanti pukul 11.00 WIB. Duh!
Saya coba ke Grand Indonesia, dan hasilnya kurang lebih sama. Karena tidak banyak lokasi lain yang saya ketahui, akhirnya saya putuskan ke Ratu Plaza. Kali terakhir ke sana dulu untuk urusan servis MacBook. Jadi siapa tahu disana sudah buka.
Sekitar 10.30 WIB, saya sampai sana. Gerai servis yang saya ingin tuju ternyata belum buka. Saya lihat dari luar sepertinya masih bersiap, dan memang tertulis baru buka pukul 11.00 WIB. Ada juga gerai servis produk Apple yang lain, tapi namanya bagi saya kurang familiar. Tapi, dari secara tampilan sangat meyakinkan. Dan, yang paling penting adalah gerai tersebut sudah buka!
Jadilah saya putuskan ke gerai tersebut. Saya langsung sampaikan apa mau saya, dan untuk dapat diproses instal ulang saja. Setelah pencatatan pemesanan layanan, saya diinfokan mungkin sekitar 30-45 menit saja. Bisa ditunggu, atau ditinggal kalau sudah selesai saya akan dikabari.
Saya memilih untuk berjalan-jalan saja sebentar di area Ratu Plaza. Tidak banyak yang bisa dilihat, tapi ya daripada saya hanya menunggu saja. Benar saja, sekitar 30 menit setelahnya saya dihubungi oleh gerai tersebut, yang menginfokan kalau proses telah selesai dan iPad dapat diambil. Oh ya, untuk biayanya sebesar Rp150.000,-. Harga yang oke juga menurut saya.
Masih di lokasi gerai tersebut, saya juga menumpang untuk mengunduh aplikasi-aplikasi yang saya butuhkan di iPad saya tersebut. Beruntung, koneksi yang ada di sana cukup kencang, jadi hanya beberapa menit saja saya mengunduh aplikasi yang sebelumnya ada di iPad saya. Setelah saya rasa cukup, akhirnya saya kembali ke tempat saya menginap, melewati Jalan Sudirman menjelang jam makan siang.
Kabar baik untuk para pengguna jasa angkutan pesawat terbang, karena pemerintah baru saja menghapuskan beban airport tax atau Passanger Service Charge (PSC) untuk penerbangan dari 13 bandara di Indonesia. Istilah pajak bandara ini juga dikenal dengan Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) Tentu, ini kabar baik bagi mereka yang harus bepergian dengan pesawat.
Gambar pesawat AirAsia di area Bandara Soekarno-Hatta (CGK)
Stimulus ini berlaku mulai 23 Oktober 2020 sampai dengan 31 Desember 2020. Daftar 13 bandar udara yang dihapus:
Bandara Soekarno-Hatta (CGK)
Bandara Hang Nadim (BTH)
Bandara Kualanamu Medan (KNO)
Bandara Bali I Gusti Ngurah Rai Denpasar (DPS)
International Yogyakarta Kulon Progo (YIA)
Halim Perdanakusuma Jakarta (HLP)
Bandara Internasional Lombok Praya (LOP)
Jenderal Ahmad Yani Semarang (SRG)
Bandara Sam Ratulangi Manado (MDC)
Bandara Komodo Labuan Bajo (LBJ)
Bandara Silangit (DTB)
Bandara Banyuwangi (BWX)
Bandara Adi Sucipto (JOG)
Dengan penghapusan ini, otomatis akan ada penyesuaian harga tiket yang selama ini harga yang tertera sudah termasuk dengan PSC. Dari puluah kali terbang — ketika harga tiket sudah termasuk PSC — saya sebenarnya tidak terlalu memerhatikan rincian biaya. Yang saya tahu berapa total harga, dan kadang saya memastikan saja apakah biaya tersebut sudah termasuk bagasi atau tidak.
Bukan Oktober ini, akhirnya memutuskan untuk melakukan perawatan berkala kendaraan roda empat milik kami. Perawatan ini ini untuk servis 50.000 km. Mobil ini memang bukan mobil baru, namun mobil tangan kedua menggantikan mobil sebelumnya — dari merek yang sama yaitu Honda — tapi dengan model yang berbeda. Sewaktu beli, saat itu angka kilometer masih menunjukkan sekitar 27.000 km.
Di servis sebelumnya tahun 2019 lalu (ketika ambil servis rutin per 10.000 km), saya mendapatkan opsi apakah akan langsung mengambil paket perawatan untuk servis berikutnya. Dengan pertimbangan bahwa secara hitungan memang lebih murah — saya lupa tepatnya berapa selisihnya, tapi nominalnya cukup lumayan juga — dan karena juga memang untuk servis kendaraan sebisa mungkin dilakukan rutin, jadi saya ambil penawaran tersebut.
Saat itu, saya membayar Rp2.770.000,- untuk total dua kali servis. Dan, saya bisa menggunakan “jatah” servis ini sampai satu tahun berikutnya, atau di kilometer di jadwal service berikutnya. Saya pikir, dengan mobillitas saya yang sebenarnya juga tidak banyak dengan mobil, tapi satu tahun untuk menempuh jarak sekitar 10.000 km sepertinya bisa jadi.
Walaupun, sebelum pemberitahuan itu saya memang sudah memasukkan informasi NPWP yang akan dikenai pajak. Saat ini saya membayar untuk layanan Google GSuite.
To comply with local laws in Indonesia, starting Aug 1, 2020, Google will begin charging 10% Value Added Tax (VAT) on sales of digital products or services to customers located in Indonesia. No action is required on your part with regard to your Google GSuite account.
Isi inforrmasi dalam surel yang dikirimkan Google terkait pajak atas layanan Google
Saya sendiri sudah mengiisikan informasi terkait nomor NPWP melalui halaman pengaturan pajak di laman panel konsumen. Beberapa informasi dalam surel dari Amazon adalah sebagai berikut:
“Terhitung mulai 1 Agustus 2020, AWS diwajibkan untuk mengenakan PPN sebesar 10% kepada seluruh pelanggan di Indonesia. Perubahan ini akan berdampak pada tagihan yang Anda terima untuk setiap penggunaan layanan AWS Cloud, serta pembelian pada AWS Marketplace.”
“Jika akun AWS Anda tidak seharusnya memiliki alamat di Indonesia, mohon perbarui detil informasi akun Anda dengan mengunjungi laman Alamat Penagihan dan Alamat Kontak pada perangkat penagihan AWS.”
“Jika akun AWS Anda beralamat di Indonesia, dan Anda memiliki NPWP yang masih berlaku, mohon perbarui detil akun Anda dengan mengunjungi laman Pengaturan Pajak pada perangkat penagihan AWS. Efektif sejak Agustus 2020, faktur pajak cetak yang mencantumkan NPWP dan nama resmi usaha Anda akan kami keluarkan untuk memungkinkan Anda melakukan pengembalian PPN. AWS akan mengenakan PPN sebesar 10% dan membayarkannya kepada pihak yang berwenang. Apabila Anda merupakan rekanan atau memiliki beberapa akun yang terkait, pastikan untuk masuk dalam laman Pengaturan Pajak untuk memperbarui seluruh akun Anda dengan mencantumkan NPWP yang masih berlaku.”
“Jika akun AWS Anda beralamat di Indonesia dan Anda tidak memiliki NPWP, Anda tidak perlu melakukan apa-apa. AWS akan mengenakan PPN sebesar 10%.”
Mulai 1 Agustus 2020 nanti, beberapa layanan digital yang digunakan oleh pengguna internet atau layanan daring di Indonesia akan mengalami kenaikan harga. Ada enam perusahaan penyedia produk/layanan digital yaitu Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte. Ltd,Google Ireland Ltd, Google LLC, Netflix International B.V., dan Spotify AB yang akan mengenakan pajak PPN 10% kepada konsumen.
Jadi, yang menggunakan layanan seperti Amazon Web Service (AWS), Google Cloud Platform (termasuk layanan Google lain), Netflix, dan Spotify perlu siap untuk membayar sedikit lebih.
Dari beberapa layanan tersebut, hanya Netflix yang tidak saya gunakan. Walaupun tidak akan terlalu signifikan — karena tagihan saya untuk layanan tersebut tidak besar — tapi mungkin ini juga lumayan. Contohnya, saya berlangganan Spotify Premium dengan total tagihan perbulan saat ini sebesar Rp79.000. Dengan dikenai pajak, maka tagihan saya akan berubah menjadi Rp86.900.
Dari panel akun saya di Amazon Web Service (AWS), sudah ada isian untuk memasukkan informasi nomor NPWP. Begitu juga dari panel konsumen Google (saya lihat dari layanan Google Apps for Work). Untuk Spotify, saya belum melihat ada isian untuk mengisi NPWP.
In my opinion, these are some key points about HEY. It’s not about my personal preference, but more about ‘what I — or probably you — should now by having a @hey.com account.
It’s NOT an email client. So, it’s not like Gmail for Android/iOS. It’s not Outlook you can have on your Android, Mac, or iOS devices. It’s not even close to Spark, Postbox, or Newton.
It’s an email service provider, with — currently — @hey.com domain for the email address created. That’s right, it’s like Gmail by Google, or Yahoo Mail, or Outlook. It’s also like how you have your email address, powered by your cPanel-based hosting, or maybe you have it installed yourself and having Roundcube as the interface. Creating an account at HEY is like you open an account at Gmail, or having an email at Yahoo Mail service.
It’s not free. It’s a paid service. To enjoy the full service at the moment, with the upcoming features in the futures, we need to pay US$99/year minimum. We need to pay extra if for ‘shorter’ username. 2-characters of username costs US$999/year, and 3-character of username will cost US$349/year. And, we need to pay a year in advance.
It offers “better” privacy. Hint: Gmail.
It might change your workflow. It might be better for some people, but probably it’s not for everyone.
Reading some of those points above, I was curious about how it works. I mean about the interface, functionalities, workflows, and more. It’s 2020, and making working with email to become an enjoyable experience — for those who work a lot with emails — is still a big challenge.
I am a Gmail user — or Gmail-based email, because I also use Google App for Work — and I use lots of Google services. I signed up for my Gmail account when it was still ‘invite only’ period.
My first question about HEY was, “If HEY is that good, how the integration between services I currently use?”. I have an Gmail email, and once I signed up for it, I can use all the other services right away. The integration between those [Google] service is already that good.
I still believe that HEY is not ‘just another email provider’. Basecamp is a reputable company. I follow Signal vs Noise blog. I bought both REMOTE and REWORK. It’s built by people who know what they do, and who want to make the idea of working to become something efficient and fun at the same time. If we’re talking about productivity, Basecamp should be mentioned here.
I already logged-in to my email account. I have HEY app installed on my iPad and Android phone. I also already sent my first email to it.
Among many services provided by Amazon Web Service (AWS), I use its Amazon S3 more than any other services provided. Lucky that it has Singapore edge location for the service.
In the latest press release, AWS will open a new region in Indonesia. It’s a good news. The only thing AWS users need to do is just waiting for the service to be available, and it is expected to be available in late 2021 or early 2022
Amazon Web Services, Inc. (AWS), an Amazon.com company (NASDAQ: AMZN), today announced it will open an infrastructure region in Indonesia by the end of 2021 / early 2022. The new AWS Asia Pacific (Jakarta) Region will consist of three Availability Zones at launch, and will be AWS’s ninth region in Asia Pacific, joining existing regions in Beijing, Mumbai, Ningxia, Seoul, Singapore, Sydney, Tokyo, and an upcoming region in Hong Kong SAR. Currently, AWS provides 61 Availability Zones across 20 infrastructure regions worldwide, with another 12 Availability Zones across four AWS Regions in Bahrain, Hong Kong SAR, Italy, and South Africa expected to come online by the first half of 2020.
Amazon Press Release, April 3, 2019: AWS to Open New Region in Indonesia
After leaving Flickr, it took few weeks to have all photos organised in Google Photos as my primary photo storage (and sharing!) service.
What’s the difference?
Using Google Photos, I upload more photos. I think, this is because of some key factors:
It’s easy to upload photos. I almost always upload my photos directly from my Android phone.
It feels fast to upload. Besides photos, I also upload some videos.
It’s addictive. Because it’s not only about having all photos stored in the cloud, but also how Google handles my uploaded photos. The “Assistant” which helps me to create animation, collages, and also movies makes me feel more engaged with what I have uploaded. And, let’s not forget also its face recognition and face grouping feature.
Secondly, it’s nice to share memories with others. Even I have lots of private photos, I also have thousand of photos I took in my daily with friends at the office, church during Saturday services, and other occasions.
So, it’s not only about me, not only about my family, but it’s also about friends, coworkers, relatives, and those who we care about. I create hundreds of albums to keep all photos organised. I label those faces, and created shared albums so that my friends can also see their photos.
I already have around 28K photos uploaded for free to Google Photos. Let’s see how many photos I have at the end of the year. 20K? We’ll see.