Minggu lalu, 19 November 2022, saya ikut menikmati gelaran Ngayogjazz 2022. Walaupun acara ini — kalau tidak salah — sudah diadakan sejak 2007, tapi saya bisa dikatakan hanya beberapa kali saja nonton.
Dan, karena tahun 2022 ini akhirnya diselenggarakan lagi, jadi saya memang sudah meniatkan untuk datang.
Awalnya, sempat ragu-ragu, karena saya sempat kena COVID-19 juga. Tapi, syukurlah bisa dikatakan sudah sehat, jadi sore itu ikut menikmati suasana Ngayogjazz.
Saya baru datang sekitar Magrib ke dusun Cibuk Kidul, tempat dilaksanakannya Ngayogjazz tahun ini. Sempat nyasar beberapa kali ketika mencari tempat parkir. Dan, akhirnya dapat tempat parkir yang berjarak sekitar 1,5km dari lokasi. Cara ke lokasi? Ya, jalan kaki, sama seperti kebanyakan pengunung yang jumlahnay mungkin ribuan malam itu.
Kenapa tidak pakai ojek dari warga? Enahlah, malam itu saya sedang ingin menikmati berjalan kaki.
Saya menikmati acara itu dengan berpindah dari panggung ke panggung. Hampir tidak terlalu fokus kepada rundown acara, tentang siapa yang main di panggung apa. Jadi, sedang berkeliling, dan ada penampil, ya saya nikmati saja performanya.
Semua panggung sudah saya singgahi, termasuk panggung yang ada di halaman warga, yang ada kandang sapi tak jauh dari sana.
Itulah istimewanya. Sebuah pesta, dengan kemasan yang… saya suka.
Bagi saya, acara ini bukan hanya soal merayakan sebuah pesta dengan nuansa yang apa adanya, dengan banyak pihak yang berpartisipasi, dan saling mendukung. Semua bersenang-senang.
Justru di acara seperti ini, malah jadi banyak bertemu dengan teman-teman yang sudah lama tidak saya temui. Menikmati jalan di kampung, dengan segala hal yang “apa adanya”.
Tentang suasana, menurut saya Monita Tahalea mendeskripsikan dengan sangat apik melalui tulisan dalam satu posting di akun Instagram-nya.
Masyarakat penikmat seni berjalan-jalan dengan tertib menyerap suasana. Para musisi yang berpotensi dan kreatif berkesenian dengan gembira dan bahagia, seniman-seniman hadir bersilaturahmi. Tidak satupun sejauh pandanganku ada yang membawa aliran viralisme dengan gimmick belaka. Panggung besar dan mapan turut menghidupkan panggung-panggung yang tersembunyi; musik di depan kantor kelurahan, ibu berjualan pop mie, baju-baju daster, wedang, seblak , pengrajin rotan, kolektor VW, sepeda ontel, hingga bapak yang menjual balon sekalipun.
Saat Monita tampil di Panggung Sepat, saya tidak melihatnya langsung di panggung. Hanya sayup terdengar dari tempat berdiri saya yang malam itu sedang melihat Barry Likumahuwa tampil di Panggung Cethul.
Diperlukan keringanan biaya testing untuk calon wisatawan yang ke Bali. Ini yang akan kita pertimbangkan sebagai bentuk insentif yang bisa kita berikan, yakni testing (biaya PCR atau antigen) yang dibebankan ke pemerintah. Ternyata anggaran testing itu sampe Rp 6 triliun yang belum terserap, baru sedikit sekali yang terserap. Jadi, saya nanti mengusulkan dan dorong ke PEN agar itu bisa dialihkan, anggaran yang tidak terserap sebagai intensif.
Menparekraf Sandiaga Uno tentang pengalihan biaya pengetesan corona dialihkan untuk membiayai PCR atau rapid test antigen wisatawan (yang mau ke Bali). Sumber: Kumparan
Sebentar, Pak Sandiaga Uno… Sebentar.
Sependek pengetahuan saya, pendapat Anda ini agak membingungkan. Benar bahwa Bali terdampak karena pariwisata menjadi faktor penting perekonomian di sana. Bukan bermaksud mengecilkan, tapi daerah lain — walaupun bukan selalu terkait pariwisata — juga mengalami dampak yang luar bisa karena COVID-19 ini.
Sekali lagi, ini bukan sentimen saya soal Bali, tapi tentang pernyataan beliau ini. Saya juga suka Bali ketika berlibur ke Bali.
Tapi, Pak… saya agak bingung dengan logika berpikir Anda.
Karena sudah cukup lama tidak mengunjungi eyangnya di ujung selatan Bantul, hari ini saya membawa keluarga untuk datang berkunjung sebentar. Kemarin, si bocah juga baru saja berulang tahun.
Kunjungan singkat tersebut sekaligus kesempatan mampir ke pantai. Dan Pantai Glagah merupakan pilihan siang itu. Tidak ada ekspektasi, selain bahwa semoga cuaca cukup baik. Pengalaman sesekali kali ke pantai — di masa pandemi — memang biasanya memilih jam dan hari yang ‘kurang diminati orang’.
Otomatis memang pantai/obyek wisata pasti cenderung sepi. Pengunjung berkurang. Dan, siang itu, saya menjumpai kawasan Pantai Glagah ini memang sepi. Setelah saya membayar retribusi obyek wisata sebesar Rp18.000 untuk tiga orang, saya langsung mengarahkan kendaraan ke area pantai. Dan, tujuan pertama ke kawasan laguna.
Laguna Pantai Glagah
Ketika mampir di area laguna, saya hanya melihat sekitar emapt mobil saja parkir. Ada beberapa sepeda motor terparkir. Sepi sekali. Ada sebuah perasaan sedih. Entahlah, tidak nyaman melihatnya.
Pantai Glagah.
Ketik sampai ke kawasan parkir pantai, saya hanya melihat satu mobil yang sedang parkir. Lagi-lagi, sangat sepi. Semoga ini memang karena sedang bulan puasa. Walaupun saya tetap mendukung protokol kesehatan untuk tetap dijalankan, tapi di saat yang sama bahwa ada yang menggantungkan penghasilan dari sektor pariwisata ini, pemandangan yang sepi ini cukup berhasil mengusik saya.
Beberapa orang yang berjaga parkir juga sepertinya menjalani hari yang cukup berat. Beberapa warung juga sepi. Beberapa kawasan yang sepertinya disiapkan (atau dulu malah sudah pernah beroperasi) juga sepertinya tidak menunjukkan bahwa ada aktivitas perekonomian di sana.
Apalagi pembatalan tersebut bisa dikatakan sangat mepet dengan jadwal penerbangan. Seingat saya, saya bahkan membatalkan penerbangan di hari yang sama dengan jadwal penerbangan saya di bulan Maret 2020. Jadi, kalaupun ini tidak berhasil diproses ya tidak mengapa.
Nominal tiket penerbangan saya saat itu sektiar Rp1.400.000. Jumlah yang lumayan juga sebenarnya.
Tapi, saya juga cukup paham bahwa dunia aviasi atau pariwisata sangat terkena dampaknya. Dunia aviasi jelas sangat memegang peranan penting, karena langsung terkait dengan sektor bisnis lainnya. Mobillitas orang berkurang, banyak bisnis juga tidak berjalan secepat sebelumnya. Dunia pariwisata termasuk perhotelan, pasti juga kena dampaknya.
Jadi, saya mungkin salah satu dari ratusan ribu, atau bahkan jutaan orang yang dengan berbagai kasus berurusan dengan maskapai. Pemrosesan kasus tentu saja mengalami kenaikan yang luar biasa. Sangat luar biasa. Bagian terbaruk untuk kasus saya adalah klaim tidak dapat diproses, dan saya menerimanya.
Namun, hari ini (14 Januari 2021), saya mendapatkan telepon dari AirAsia Indonesia. Saya pikir, mungkin bagian pemasaran yang menawarkan paket, promo, atau informasi saja. Tapi, ternyata bukan.
Singkatnya, telepon itu memberitahuan mengenai perbaruan status klaim tiket saya. Nominal refund saya dapat diproses, dan akan dikembalikan sebagai kredit akun untuk dapat saya gunakan untuk pemesanan tiket di masa mendatang.
Tapi, saya mungkin sampai dengan akhir tahun belum tentu akan bepergian. Mengenai tenggang waktu pemakaian kredit, ternyata cukup lama yaitu 2 (dua) tahun sejak kredit ditambahkan ke akun saya. Dan, ini dapat digunakan untuk pembelian tiket kemana saja, dan untuk penumpang siapa saja. Kalau total pembelian lebih dari kredit, saya hanya perlu membayar selisihnya. Dan, jika pembelian kurang dari kredit saya, maka sisa kredit akan tetap ada di akun saya.
Sebenarnya ada juga pilihan utnuk dikembalikan secara transfer bank, tapi proses ini akan memakan waktu sangat lama. Kalau tidak salah dengar, paling cepat mungkin dalam jangka waktu 6 (enam) bulan.
“Kalau tidak terbang dalam jangka waktu 2 (dua) tahun ke depan, lalu buat apa kredit akunnya?”
Ya, mungkin pembelian nanti bukan untuk saya. Saya juga belum pastikan, apakah kredit akun bisa digunakan untuk layanan pembelian lain di situs AirAsia.com misal pemesanan hotel, atau pembelian jasa lainnya. Kalau bisa, ya mungkin bisa nanti digunakan untuk ini.
Saat saya menulis ini, kredit akun memang belum ditambahkan, tapi bagaimana AirAsia Indonesia menyelesaikan kondisi ini, saya rasa layak untuk diapresiasi.
Selama pandemi, salah satu tempat publik (tertutup) yang sering saya kunjungi adalah supermarket untuk keperluan berlanja, baik yang lokasinya berdiri sendiri atau menjadi satu dengan area lain seperti yang ada di dalam mall.
Khusus untuk area seperti hotel, saya hampir tidak pernah mengunjungi. Apalagi selama pandemi ini saya juga tidak pernah melakukan perjalanan ke luar kota, yang mengharuskan saya harus menginap di hotel. Setelah berbulan, dengan berbagai perkembangan, pelaku bisnis sudah banyak melakukan adaptasi kebiasan baru — saya lebih suka istilah “kebiasaan baru” dibandingkan dengan new normal sebenarnya.
Hotel sebagai salah satu komponen penting dalam dunia pariwisata juga melakukan adaptasi. Tentu, ini tidak mudah, tapi kalau tidak beradaptasi, mau jadi apa?
Karena sebuah keperluan, beberapa hari lalu saya mengunjungi Prime Plaza Hotel Jogjakarta, sebuah hotel bintang 4 yang ada di Jl. Affandi. Sudah sangat lama sejak terakhir kali saya menginap di tempat ini. Dan, kunjungan terakhir saya kesana kalau tidak salah tahun lalu, sebelum pandemi untuk sebuah acara yang saat itu hanya memakai lokasi resto saja.
Walaupun tidak sampai menginap, tapi karena kunjungan kemarin saya jadi sedikit menyempatkan untuk melihat bagaimana protokol kesehatan berjalan di hotel ini.
Ketika memasuki area pintu masuk utama, langsung disambut dengan informasi yang terpampang cukup jelas mengenai beberapa protokol kesehatan yang perlu ditaati oleh setiap penunjung. Ada juga automatic dispenser hand sanitizer, yang bisa digunakan secara contactless. Terakhir, ada QR Code yang perlu dipindai yang setelah saya coba, isinya adalah tautan untuk mengisi beberapa data terkait kedatangan.
Hal ini untuk mempermudah perncatatan siapa saja yang masuk ke area hotel, yang tentu saja akan nantinya bermanfaat untuk melakukan contact tracing jika diperlukan. Walaupun, semoga saja tidak perlu ada contact tracing ya… Persis sebelum masuk pintu, ada screening pengecekan suhu tubuh.
Oh ya, kenapa tidak ada tempat cuci tangan secara langsung, ya hal semacam ini selain memenuhi protokol juga secara estetika lebih baik.
Setelah melewati pintu masuk utama lalu belok ke kanan, ada lokasi resepsionis. Selain ada cairan pembersih tangan, alat tulis yang akan digunakan oleh tamu sudah dipisahkan antara yang bersih dan yang yang telah dipakai. Jadi langsung dipisahkan. Jadi, setiap alat tulis yang dipakai otomatis memang selalu dibersihkan. Ini cocok karena alat tulis, selama pengalaman saya check-in di hotel merupakan salah satu benda yang paling sering dipakai bergantian.
Masih di area resepsionis, ada informasi lain bagi tamu terkait beberapa persyaratan/protokol bepergian dengan menggunakan transportasi publik. Selain itu, ada lagi juga QR Code lain yang ternyata isinya mengarahkan ke laman untuk mengisi informasi riwayat perjalanan oleh tamu yang akan menginap. Sedikit berbeda dengan yang ada di pintu masuk, karena ketika sudah di resepsionis, besar kemungkinan yang adalah tamu yang menginap. Jadi, formulir ini lebih spesifik untuk tamu menginap.
Sofa tempat duduk yang ada di area lobi juga diubah pengaturannya, sehingga konsep social distancing atau jaga jarak bisa lebih mudah terpenuhi.
Walaupun posisi sudah berjauhan, tapi pengaturan supaya yang duduk tidak berhadapan layak untuk diapresiasi
Pengaturan jaga jarak untuk area sofa yang ukuran lebih besar.
Secara umum, walaupun memang cuma sebentar, bahkan tidak sampai melihat-lihat jauh ke area dalam seperti kolam renang, area gym, dan fasilitas lain, tapi saya cukup nyaman berada disana. Suasana berbeda mungkin bisa terjadi kalau tamu penuh. Tapi, menurut saya hotel merupakan salah satu tempat dimana layanan menjadi yang utama. Jadi, pengaturan dan protokol pasti akan sebaik dan sebisa mungkin untuk dilaksanakan.
Catatan
Walaupun secara umum saya merasa nyaman dan aman ketika berada di sana, ada beberapa detil kecil yang menurut saya pribadi mungkin bisa menjadi catatan. Tentu, ini pendapat pribadi saja.
Informasi jika ditampilkan dengan bahasa Indonesia mungkin akan lebih mudah dipahami oleh pengunjung. Faktanya, dalam kondisi saat ini mungkin pengunung atau tamu hotel mayoritas merupakan tamu lokal/domestik. Atau jika memang harus dua bahasa, terjemahan dalam Bahasa Inggris tetap bisa ditampilkan, tapi bahasa Indonesia tetap yang utama.
Karena saya memang benar-benar hanya berada di seputar area lobby, jadi yang saya lihat memang tidak banyak seperti bagaimana tempat publik seperti di kolam renang, atau pusat kebugaran, termasuk apakah ada perubahan atau tidak tentang kondisi kamar. Tapi, melihat dari bagaimana semuanya terlihat di area depan, sepertinya standar protokol kebersihan jelas menjadi perhatian khusus.
Video protokol keamanan dan standar kesehatan bisa juga diliaht melalui video di bawah ini. Dalam video ini juga terlihat kalau untuk sterilisasi kamar juga menggunakan lampu UV-C.
Kontak dan Lokasi
Karena berada di tengah kota dan di salah satu jalan utama di Jogjakarta, hotel ini dapat dengan mudah ditemukan. Akses masuk kendaraan juga sangat mudah.
Pemandangan kawasan Ledok Sambi dari daerah pintu masuk utama. Tali di atas adalah untuk flying fox. Harga untuk wahana flying fox adalah Rp20.000 (November 2020)
Akhir pekan ini, lagi-lagi tanpa begitu banyak rencana saya, istri, dan si bocah memutuskan untuk ke Ledok Sambi, sebuah kawasan wisata alam yang ada di daerah Jogja utara — di daerah Sleman. Sebenarnya sudah cukup lama melihat dan tahu lokasi ini, namun baru kali ini mengunjungi tempat tersebut.
Kawasan ini memang tidak persis terletak di pinggir jalan. Jalan masuk agak melewati daerah perkampungan/pedesaan. Beruntung, untuk kendaraan roda empat tidak ada masalah — dan sepertinya minibus juga bisa. Kami berangkat memang tidak terlalu pagi, sekitar 09.30 WIB kami sampai lokasi. Beruntung cuaca cerah, yang artinya memang agak panas.
Sepanjang perjalanan, lalu lintas cukup lancar. Tidak terlalu ramai. Mungkin, karena minggu lalu sudah puncaknya liburan. Kalau dari arah Yogyakarta, jalan masuk ada di sebelah sisi kanan (timur jalan). Ada papan besar bertuliskan DESA WISATA SAMBI. Dan tulisan penunjuk “Ledok Sambi” terlihat jelas juga.
Ikuti saja arah penunjuk yang sudah cukup jelas. Dan, perjalanan akan berakhir di area parkir yang cukup luas. Cukup banyak petugas pemandu yang mengarahkan, jadi seharusnya tidak perlu khawatir akan tersesat. Kalau mengandalkan Google Maps, lokasinya memang mengarah ke pinggir jalan besar. Jadi, perhatikan saja papan penunjuk jalan.
Menikmati Ledok Sambi
Saya tidak tahu saat itu Ledok Sambi memang ramai atau tidak, tapi pagi itu masih terasa cukup nyaman. Protokol kesehatan seperti anjuran selalu memakai masker, cek suhu tubuh, dan tempat cuci tangan beserta sabun juga tersedia. Jadi, lokasinya seperti hamparan taman alam yang luas, dengan ada aliran sungai yang membelah kawasan tersebut. Debit air saat itu tidak terlalu deras, jadi sangat nyaman dan aman untuk bermain.
Untuk social distancing, juga masih ideal untuk dilakukan. Ada area untuk memesan makanan juga yang menyajikan menu cukup lengkap untuk minuman, snack, bahkan makanan besar seperti nasi sayur. Untuk harga juga masih sangat wajar. Misalnya untuk segelas teh panas, harga hanya Rp4.000,- saja. Pembayaran juga mudah, karena bisa non-tunai menggunakan e-wallet yang dimiliki. Beruntung, pembayaran sudah mendukung QRIS.
Setelah berjalan-jalan sejenak, kami memutuskan untuk ke area yang cukup sepi dan teduh, dekat dengan camping ground. Rumput yang sangat terawat, jadi sangat nyaman. Kami akhirnya sempat juga memesanan minuman dan makanan kecil.
Catatan
Berikut beberapa hal yang mungkin bermanfaat untuk diketahui terlebih dahulu jika ingin mengunjungi Ledok Sambi berdasarkan pengalaman saya.
Ikuti protokol kesehatan yang dianjurkan, pakai masker, tetap jaga jarak, dan jaga satu sama lain.
Jaga kebersihan. Lalu, jaga kebersihan. Terakhir, jaga kebersihan. Banyak tempat sampah yang tersedia di sana.
Tidak ada biaya/tiket masuk. Kontribusi sifatnya juga sukarela.
Buka setiap hari pukul 08.00-17.00 WIB.
Untuk parkir kendaraan, diberlakukan tarif untuk mobil Rp5.000,- dan motor Rp3.000. Harga yang sangat wajar. Pengelolaan juga resmi, tidak perlu khawatir.
Karena kawasan ini berada di dataran yang lebih rendah, dari tempat parkir perlu berjalan meniti jalanan yang agak curam. Walaupun demikian, masih cukup aman karena ada pegangan dan pengaman. Berjalan tanpa berpeganan juga tidak masalah. Mungkin perlu berhati-hati ketika hujan atau kondisi basah, dan sambil menggandeng atau menggendong anak kecil. Dan, hanya ada satu jalan masuk/keluar. Jadi, berpapasan dengan pengunjung lain tidak bisa dihindari. Jalan cukup lebar untuk berpapasan.
Area food court menyajikan pilihan makanan yang cukup lengkap. Dan, pelayanan saya rasa cukup cepat, tapi mungkin tergantung dengan pilihan menu ya. Tapi, saya rasa harusnya cukup cepat, karena yang disajikan juga tidak terlalu rumit proses memasaknya.
Alamat dan Info Lokasi
Ledok Sambi Jl. Kaliurang KM 19, Pakembinangun, Kec. Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55582 (Google Maps) Website: ledoksambi.net Instagram: @ledoksambi Kontak: Yetti 0819 0426 2581 / Dini 0813 9232 2529
Bulan lalu, tanpa terlalu direncana, kami malah mampir ke kawasan wisata Kaliurang, lebih tepatnya ke Telogo Putri. Tidak terlalu banyak ekspektasi, kecuali untuk sekadar keluar rumah dan mengunjungi tempat terbuka. Berutung lokasi Kaliurang tidak terlalu jauh, hanys ekitar 20km saja dari rumah.
Waktu itu hari masih cukup pagi, jadi harapannya memang jalanan dan lokasi belum terlalu ramai.
Beruntung pagi itu cuaca cukup baik. Dan, sesampai di kawasan Kaliurang, kabut cukup tips, cuaca dingin, dan tidak terlalu banyak orang. Kawasan parkir Telogo Putri pagi itu juga tidak terlalu ramai dengan kendaraan pribadi.
Saya lupa kapan kali terakhir saya ke tempat ini, tapi lebih dari dua atau 3 tahun lalu. Kali ini, tentu saja berbeda. Selain bawa anak, lokasi juga terlihat berbeda. Lebih sepi. Tentu ini terkait karena memang operasional tidak seperti dulu. Sekarang, banyak tempat cuci tangan, dan spanduk informasi untuk tetap menjalankan protokol kesehatan COVID-19.
Awalnya sempat ingin masuk. Tapi, loket tiket tertutup rapat. Mungkin memang sedang ditutup sementara, atau belum buka. Tak mengapa, karena memang tujuan utama kami hanya sekadar jalan-jalan saja.
Para penjual jadah tempe dan aneka jajanan masih ada seperti biasa. Warung makan ada yang buka, tapi sepertinya lebih banyak yang tutup. Sedih juga sebenarnya melihat kondisi ini. Kami saat itu tidak membeli jajanan apa-apa.
Oh ya, yang jelas terlihat berbeda adalah begitu banyaknya terlihat monyet di sekitar kawasan luar loket tiket. Ada yang di warung-warung makan. Ibu-ibu pemilik warung sepertinya juga sudah cukup terbiasa dengan kondisi ini. Sepertinya mereka turun dari hutan untuk mencari makan. Sempat saya lihat ada beberapa monyet keluar dari warung yang pintunya tidak tertutup rapat sambil membawa seplastik kerupuk.
Dan, ketika mau pulang, ada beberapa orang yang baru saja membeli oleh-oleh, plastik bawaan yang berisi makanan juga “dirampas” oleh monyet. Jadilah plastik pembungkus sobek, dan makanan berceceran. Tak butuh waktu lama kawanan monyet mendekat untuk berebut.
… iya, 170 miliar rupiah, dengan menggunakan Dana Keistimewaan (danais) tahun anggaran 2020. Total anggaran tersebut untuk membeli lahan dan kedua bangunan tersebut. Rencananya, akan digunakan sebagai sentra UMKM, yang lokasinya berada di lokasi yang sangat strategis, di kawasan Malioboro. Mengutip berita dari krjogja.com:
Sultan mengatakan bagian bangunan yang ada di sebelah utara akan diubah menjadi sentra Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di DIY. 43 kamar akan diubah menjadi gerai pamer sekaligus jual beli UMKM yang nantinya masih akan menjalani serangkaian renovasi.
“Ya bukan mall sebutannya ya, tapi sentra untuk UMKM begitu saja. Kami ingin meningkatkan kualitas UMKM DIY agar punya ruang di kawasan Malioboro, meski nanti sifatnya mungkin tetap menyewa”
Gubernur DIY, Sri Sultan HB X tentang pembelian dua bangunan Hotel Mutiara senilai 170 miliar.
Hotel Mutiara Malioboro, Yogyakarta (sisi utara)
Mengenai bagaimana pemanfaatan atau pengelolaannya, termasuk rencana lanjutannya sepertinya masih perlu dipikirkan dan direncanakan. Mengutip Kompas:
Sultan menyebut, pemilik UMKM yang ingin berjualan di sentra UMKM di kawasan Malioboro tersebut nantinya harus membayar uang sewa kepada Pemda DIY. Namun, besaran uang sewa itu belum bisa dipastikan. Selain itu, jumlah UMKM yang bisa ditampung di gedung sentra UMKM tersebut juga belum bisa dipastikan.
Aris — Kepala Paniradya Kaistimewan DIY — menjelaskan, proses pembelian dua bangunan Hotel Mutiara itu sudah dimulai sejak Februari 2020. Sementara itu, proses pembayaran kepada pemilik hotel tersebut dilakukan pada pertengahan September 2020.
Aris menambahkan, setelah pembelian dilakukan, Pemda DIY akan melakukan uji konstruksi dan kajian pengelolaan terhadap bangunan yang dibeli tersebut. Uji konstruksi dilakukan untuk mengetahui kualitas bangunan, sementara kajian pengelolaan dilakukan agar bangunan tersebut bisa dikelola secara baik. ”Kajian pengelolaan dan uji konstruksi dilakukan pada tahun 2020,” katanya.
Oh ya, bangunan Hotel Mutiara ini bukan termasuk cagar budaya, karena baru berdiri sejak tahun 1972. Sedangkan untuk masuk dalam kategori cagar budaya, bangunan sudah harus berusia minimal 50 tahun. Jadi, dua tahun lagi mungkin sudah masuk cagar budaya, kalau bangunan asli masih berdiri.
Dari sekian banyak industri dan bisnis di dunia, indsutri perjalanan mungkin salah satu yang terkena dampak sangat besar, dan sangat cepat. Tak butuh berbulan-bulan untuk dampaknya langsung dirasakan.
Karena orang juga mulai berpikir ulang untuk bepergian entah untuk urusan pekerjaan atau hiburan, industri penerbangan — yang otomatis juga memengaruhi industri lain dalam sektor pariwisata — langsung perlu penyesuaian. Mulai dari pengurangan rute, pengurangan frekuensi penerbangan, termasuk pengurangan beban operasional lainnya.
Sedih melihatnya. Ditambah ketika pembatasan perjalanan harus dilakukan karena regulasi dari otoritas.
Thai Airways salah satunya. Untuk tetap membuat operasional berjalan, mereka melakukan beberapa penyesuaian bisnis, melakukan adaptasi, seperti yang dilakukan oleh puluhan, ratusan, atau bahkan jutaan bisnis di dunia.
Restoran Thai Airways
Restoran yang ditawarkan oleh Thai Airways ini memberikan pengalaman makan dengan tema ‘penerbangan’. Dengan menu, armosfer, dan pengalaman khas ala Thai Airways. Tentu, ini juga sudah pasti Thai Airways tidak bisa mengoperasikan penerbangan komersialnya.
Acting THAI president Chansin Treenuchagron told reporters that the fried dough sticks were popular and people formed long queues to buy them each morning at the airline’s five food outlets in Bangkok. Monthly sales were around 10 million baht. Encouraged by this, the airline planned to franchise its fried dough sticks, so THAI and its partners could mutually benefit from their popularity.
Walaupun masih dalam masa pandemi COVID-19, Perusahaan umum Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) membuka beberapa rute baru di Yogyakarta, untuk menjangkau beberapa tempat wisata — khususnya pantai — dan termasuk Yogyakarta International Airport (YIA).
Bupati Bantul Suharsono saat meresmikan DAMRI Palbapang-YIA di Terminal Palbapang, Kamis (17/9/2020) (Sumber foto: Jumali/Harian Jogja)
Khusus untuk tujuan pantai, memang ini masih menjadi tantangan tersendiri, karena angkutan umum publik yang selama ini memang bisa dikatakan cukup minim. Layanan seperti Grab atau Gojek mungkin masih menjadi opsi yang lebih menarik walaupun secara biaya juga tidak tergolong murah. Tapi, itu opsi yang mungkin terbaik.
Opsi lain, tentu saja dengan menggunakan kendaraan pribadi, termasuk bagi wisatawan yang datang ke Jogja, bisa saja dengan menyewa sepeda motor.
Tarif dan Rute
Berikut daftar rute dan tarif DAMRI yang bisa dijadikan rujukan. Rute ini mulai beroperasi pada 15 Oktober 2020.
Kalau mendengar kata Malaysia, pikiran saya seringkali langsung tertuju kepada hubungan yang terasa kurang manis antara Indonesia dengan Malaysia. Terutama ketika menyangkut pariwisata, atau budaya. Kadang merasa kesal, tapi jujur saja lebih sering merasa tidak memedulikan. Tidak akan selesai kalau harus mencari siapa yang salah atau dipersalahkan, atau siapa yang benar.
Jadi, lebih sering isu seputar hubungan yang kurang harmonis tidak terlalu menyita perhatian saya.
Awal tahun ini, saya berkesempatan untuk mendatangi Malaysia, negeri jiran sahabat Indonesia. Kedatangan saya untuk kali pertama tersebut untuk urusan pekerjaan, jadi praktis jadwal dan agenda lebih banyak terkait pekerjaan, bukan liburan. Saya hanya menghabiskan 3 hari 2 malam disana. Tidak banyak waktu mengeksplorasi negara yang memiliki 13 negara bagian, dan 3 wilayah persekutuan tersebut. Dan, ini beberapa catatan dalam perjanan saya.
Terbang menuju Kuala Lumpur
Bersama dengan 4 orang rekan kerja, saya berangkat dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta (CGK) dengan maskapai Air Asia pada pukul 06:25. Saya sendiri sudah tiba di lokasi sekitar pukul 05.30. Proses pemeriksaan imigrasi dan pembayaran airport tax juga cukup cepat dan lancar.
Pesawat Air Asia QZ8190 berangkat tepat waktu, tidak ada yang istimewa dalam perjalanan. Saya sendiri menghabiskan sebagian waktu dalam penerbangan untuk tidur — karena belum tidur sama sekali malamnya. Sekitar pukul 09:25 waktu Kuala Lumpur, pesawat mendarat di LCCT (Low Cost Carrier Terminal)(KUL).
Setelah sampai, saya dan rekan-rekan yang lain memutuskan untuk sarapan (atau lebih tepatnya makan siang). Pilihan jatuh ke Old Town White Coffee. Untuk pilihan menu, saya memilih Old Town Nasi Lemak dengan Ayam Goreng. Untuk minum, saya memilih segelas Teh Tarik.
Nasi Lemak with Fried Chicken
Setelah selesai makan, akhirnya perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan taksi ke kawasan Damansara Perdana di Petaling Jaya. Saat itu, saya memang tidak terlalu mencari informasi terlebih dahulu tentang lokasinya. Perkiraan perjalanan sekitar satu jam. Tujuannya sendiri adalah ke kantor rekanan. Biaya taksi sendiri — dengan harga dari counter taksi yang ada adalah RM 84.30.
Beberapa hari yang lalu, (19 Mei 2008), saya bersama dengan rekan saya Yan Arief mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam agenda acara FAM TRIP Journalist. Kemunculan kami disini atas undangan dari Bapak Octo Lampito dari Harian Kedaulatan Rakyat. Secara singkat acara ini merupakan sebuah kunjungan ke tempat-tempat tujuan wisata yang dilakukan oleh pihak-pihak seperti pemerintah kota, jurnalist, agen perjalanan. Sehingga acara ini mampu memberikan sebuah kesan dan pengalaman estetis tersendiri ketika individu berinteraksi dengan obyek (produk) wisata.
Untuk kegiatan ini di didukung oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Yogyakarta. Untuk hari pertama ini — dari rangkaian acara mulai tanggal 19 – 21 Mei 2008) — agenda pertama adalah mengunjungi Candi Borobudur. Hari ini (20 Mei 2008) peringatan Hari Raya Waisak 2552 dipusatkan di Candi Mendut dan Borobudur.
Tulisan Mas Iman Brotoseno yang membahas tentang sebuah kondisi paranoid justru mengingatkan saya kepada satu hal yang sekarang ini gaungnya entah kenapa menjadi surut. Atau, saya sendiri yang kurang informasi ya? Betul, dalam entrinya, salah satunya disinggung tentang Visit Indonesia Year 2008 (VIY 2008). Memori otak saya tiba-tiba tergelitik dengan istilah ini. Visit Indonesia Year atau tahun kunjungan wisata.
Saya sebagai warga Jogjakarta, tidak melihat tanda-tanda bahwa ada sebuah agenda besar di tahun ini. Kita lihat saja salah satu contoh. Di Jogjakarta, saya baru menemui logo VIY 2008 di beberapa tempat. Pertama di halte bis Trans Jogja yang ada di ujung utara Jl. Malioboro. Itupun hanya sebatas stiker yang ada di dinding kaca. Bahkan, penempelannya saja sepertinya miring. Besok ambil gambarnya ah!
Yang kedua, salah satu hotel di sebelah timur kawasan Malioboro yaitu Hotel Melia Purosani. Ada sebuah papan besar bahwa Indonesia (dan Jogja pada khususnya) sedang punya gawe. Selain itu, belum melihat lokasi lainnya.