Pada awal Februari 2021 lalu, BPOM mengeluarkan persetujuan penggunaan darurat (emergency use authorization) vaksin CoronaVac untuk usia 60 tahun ke atas dengan dua dosis suntikan vaksin, yang diberikan dalam selang waktu 28 hari.
Ya, tentu saja ini kabar baik. Saya tidak terlalu mengikuti perkembangan bagaimana mekanismenya. Tapi, saya justru tertarik tentang bagaimana proses pendataannya. Jadi, beredar beberapa info dan tautan melalui kanal komunikasi di grup WhatsApp mengenai mekanismenya dengan mengisi data… melalui Google Form.
Google Form tentu memiliki fitur yang dibutuhkan untuk dapat menginput data dengan mudah bagi publik. Data yang masuk bahkan sudah sangat mudah untuk dikelola, karena bisa langsung dapat tersedia dalam format spreadsheet.
Tapi, kenapa menggunakan Google Form ya? Maksud saya lebih kepada bukankan ini — pengisian menggunakan Google Form — akan cukup mudah untuk disalahgunakan? Sesulit apa untuk menyalahgunakan formulir semacam ini? Apalagi, informasi seperti ini sangat “menarik” bagi banyak orang. Bayangkan saja, tautan yang ‘ilegal’ dengan format formulir yang sama persis beredar di masyarakat, lalu data terisi, lalu siapapun yang memiliki formulir itu memegang data.
Bayangkan juga, bahwa ini lalu tidak dibuat hanya terkait pendataan data untuk vaksinasi COVID-19 bagi lansia. Entah mengapa proses input data ini tidak dilaksanakan terpusat di situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Atau, di situs Satgas Penanganan COVID-19. Kalaupun di tingkat yang lebih kecil, bisa ada di situs dinas kesehatan kota/kabupaten. Apa iya tidak bisa membuat sebuah mekanisme mandiri, sehingga data-data yang masuk dapat lebih terlindungi?
Sehingga, peluang untuk mekanisme pengisian data untuk disalahgunakan bisa paling tidak sedikit dikurangi.
Data yang perlu diisi berdasarkan “formulir resmi” terkait pendataan ini seperti NIK (Nomor Induk Keluarga), tanggal lahir, nomor ponsel, dan alamat. Semoga saja, tidak perlu banyak beredar “formulir palsu” nantinya.
Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia baru saja merilis data hasil pelaksanaan sensus penduduk 2020. Terkait dengan proses pendatatan, saya ikut didata pada September 2020 lalu. Menurut hasil sensus, jumlah penduduk Indonesia adalah 270,20 juta jiwa.
Hasil Sensus Penduduk 2020
Muhammad Hudori, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri dalam rilisnya menyampaikan bahwa rilis ini dilaksanakan untuk pertama kalinya sebagai wujud koordinasi dan kolaborasi instansi pemerintah dalam mewujudkan satu data yang diawali dengan satu data kependudukan. Jumlah penduduk dari hasil registrasi di semester II (Desember) tahun 2020 disampaikan Hudori sebanyak 271 juta jiwa. Sementara capaian perekaman KTP elektronik di 2020 telah mencapai 99,11%. Hudori juga menyampaikan sebuah fakta menarik, bahwa terdapat sekitar 17 ribu penduduk dengan rentang usia 100 s.d 115 tahun di Indonesia.
Kepala BPS dan Sekjen Kemendagri kemudian bersama-sama merilis hasil SP2020 dan mengumumkan bahwa pada September 2020 jumlah penduduk Indonesia sebesar 270,20 juta jiwa. “Data hasil SP2020 dan data registrasi kependudukan oleh Dirjen Dukcapil diharapkan dapat saling melengkapi untuk dapat dimanfaatkan diberbagai bidang,” ungkap Kecuk. SP2020 diakui Kecuk berjalan penuh tantangan di tengah kondisi Pandemi. Beberapa karakteristik penduduk menjadi tidak dapat diperoleh karena proses bisnis melalui banyak penyesuaian.
Baik Hudori maupun Kecuk mengakui bahwa hasil SP2020 ini telah selaras dengan data Adminduk 2020 tertutama pada level nasional. Sementara pada tingkat provinsi, perbedaan jumlah penduduk antara hasil SP2020 dan data Adminduk merupakan gambaran banyaknya penduduk yang melakukan perpindahan, baik untuk keperluan bekerja, sekolah, maupun alasan lainnya.
Setelah saya bebersih akun Instagram, dengan mengurangi jumlah following, linimasa Instagram dan Instagram Stories menjadi lebih ringkas. Sebenarnya bukan cuma mengurangi, tapi memang jadi ada akun yang malah saya ikuti. Tapi, secara umum saya kurangi. Dan, akun yang saya berhenti ikuti cukup banyak. Berikut yang sudah hampir tidak ada di lnimasa Instagram saya:
Akun selebritas. Hampir tidak lagi akun selebritas yang saya ikuti. Ya, dulu mungkin menarik untuk diikuti, tapi setelah dipikir-pikir, buat apa ya saya ikuti? Walaupun mungkin masih ada, tapi bagi saya mereka itu lebih kepada figur publik, dan saya memang suka dengan kontennya — yang kebanyakan bukan terkait posisi dia sebagai seberitas.
Akun terkait hobi, jualan, dan lebih spesifik akun jualan tanaman. Ketika hype hobi bertanam muncul dan makin teman saya yang hobi bercocok tanam — baik hidroponik maupun tanaman hias — saya banyak mengikuti akun dengan tema tersebut. Jadi, mungkin linimasa saya sekarang tidak sehijau beberapa bulan kemarin.
Akun layanan daring seperti Gojek Indonesia dan Grab, termasuk akun layanan digital seperti dompet digital, layanan perbankan, dan akun yang terkait dengan niaga-el (e-commerce), juga sudah tidak ada dalam linimasa saya. Walaupun, aplikasinya beberapa masih terinstal di ponsel Android saya.
Akun yang tidak saya kenal. Dulu saya mengikuti balik akun Instagram yang mengikuti akun saya. Tapi, setelah saya secara acak ikuti, ternyata saya heran karena ya… sebenarnya tidak kenal. Bahkan, ada yang saya tidak memiliki “mutual connection”.
Akun terkait dunia penerbangan, akun wisata/perjalanan, atau hiburan. Termasuk akun travel/food blogger. Saya sisakan mungkin tidak sampai 10 dalam kategori ini.
Akun yang tidak aktif. Saya lihat daftar akun yang saya ikuti dan menghapus cukup banyak akun yang selama ini hampir tidak pernah saya lihat di linimasa atau Instagram Stories. Tapi, ya bisa saja karena saya tidak masuk dalam “Closed Friend” akun tersebut. Yang soal ini ya tidak apa-apa juga. Kadang sebelumnya saya lihat dulu akunnya sekadar melihat kapan konten terakhir diunggah.
Sepertinya ya sesuai hasil yang ingin dituju: lebih ringkas — dan lebih “ada manfaatnya”. Karena, sebenarnya ada cukup banyak akun yang malah saya ikuti. Dan, kebanyakan adalah terkait dengan pandemi COVID-19, seperti akun dokter, atau akun yang berisi infomrasi singkat dan tentunya bermanfaat.
Hari ini, saat penanganan pandemi COVID-19 masih tak kunjung membaik, Indonesia mencatat ada 14.224 kasus baru. Dan, tak hanya itu, ada 5.279 kasus aktif baru (dalam perawatan), dengan positive rate 31,35%. Ketiga angka tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah tercatat. Angka tersebut berdasarkan jumlah 45.358 orang yang dites.
Tentang kebijakan untuk menekan persebaran COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintah pusat, atau pemerintah daerah, sepertinya juga tidak membawa perbaikan. Alih-alih menerapkan prosedur pelaksanaan yang mendukung pergerakan/mobilitas manusia, tak jarang justru kebijakannya malah berkebalikan.
Sebenarnya ingin optimis bahwa pandemi ini — khususnya di Indonesia — akan ke arah perbaikan. Jumlah kasus menurun, jumlah kematian menurun, tenaga kesehatan juga semakin ringan pekerjaannya. Tapi…
Dan, sepertinya pemerintah lebih menekankan kepada proses vaksinasi sebagai jawaban. padahal, proses vaksinasi ini tidak akan serta merta menghambat laju perkembangan kasus baru di Indonesia. Prosesnya sangat panjang. Dan, seiring dengan proses itu, sangat tidak mustahil dengan tingkat kedisiplinan orang yang masih banyak abai, kasus akan terus naik pula.
Lalu, divaksinasi atau tidak?
Saya tidak tertarik untuk membahas tentang mereka yang pro atau anti terhadap vaksinasi. Itu pilhan mereka. Bahwa ada sanksi jika menolak, biarlah penegakan hukum atau dasar aturannya yang berbicara. Tentang efektivitas, vaksin Sinovac yang diberikan secara gratis, bagian paling penting adalah sudah sesuai dengan standar WHO, dan mendapatkan ijin edar darurat (Emergency Use Authorization) dari BPOM pada 11 Januari 2021 lalu.
Kalau saya, dengan tidak ada banyak pilihan solusi, jika memang sudah saatnya dan saya memang bisa mendapatkan giliran vaksinasi, saya akan menerimanya. Kalau melihat fenomenanya, bukan tidak mungkin justru kehadiran vaksin dengan jadwal vaksinasinya ini membuat proses penanganan penyebaran menjadi lebih sulit.
Bisa saja orang berpikir bahwa karena sudah divaksinasi, maka akan aman. Padahal, selain bahwa prosesnya cukup panjang — pemerintah menargetkan akan selesai dalam 15 bulan — tapi untuk masing-masing penerima vaksin juga tidak serta merta aman.
Ada proses pembentukan antibodi, proses vaksinasi dilakukan dua kali untuk masing-masing penerima dengan jarak 2 minggu. Dan, tidak semua orang mendapatkan jadwal vaksinasi yang sama. Semoga saja kondisi ini juga disadari, jangan malah melegalkan untuk mengendorkan protokol kesehatan.
Apalagi pembatalan tersebut bisa dikatakan sangat mepet dengan jadwal penerbangan. Seingat saya, saya bahkan membatalkan penerbangan di hari yang sama dengan jadwal penerbangan saya di bulan Maret 2020. Jadi, kalaupun ini tidak berhasil diproses ya tidak mengapa.
Nominal tiket penerbangan saya saat itu sektiar Rp1.400.000. Jumlah yang lumayan juga sebenarnya.
Tapi, saya juga cukup paham bahwa dunia aviasi atau pariwisata sangat terkena dampaknya. Dunia aviasi jelas sangat memegang peranan penting, karena langsung terkait dengan sektor bisnis lainnya. Mobillitas orang berkurang, banyak bisnis juga tidak berjalan secepat sebelumnya. Dunia pariwisata termasuk perhotelan, pasti juga kena dampaknya.
Jadi, saya mungkin salah satu dari ratusan ribu, atau bahkan jutaan orang yang dengan berbagai kasus berurusan dengan maskapai. Pemrosesan kasus tentu saja mengalami kenaikan yang luar biasa. Sangat luar biasa. Bagian terbaruk untuk kasus saya adalah klaim tidak dapat diproses, dan saya menerimanya.
Namun, hari ini (14 Januari 2021), saya mendapatkan telepon dari AirAsia Indonesia. Saya pikir, mungkin bagian pemasaran yang menawarkan paket, promo, atau informasi saja. Tapi, ternyata bukan.
Singkatnya, telepon itu memberitahuan mengenai perbaruan status klaim tiket saya. Nominal refund saya dapat diproses, dan akan dikembalikan sebagai kredit akun untuk dapat saya gunakan untuk pemesanan tiket di masa mendatang.
Tapi, saya mungkin sampai dengan akhir tahun belum tentu akan bepergian. Mengenai tenggang waktu pemakaian kredit, ternyata cukup lama yaitu 2 (dua) tahun sejak kredit ditambahkan ke akun saya. Dan, ini dapat digunakan untuk pembelian tiket kemana saja, dan untuk penumpang siapa saja. Kalau total pembelian lebih dari kredit, saya hanya perlu membayar selisihnya. Dan, jika pembelian kurang dari kredit saya, maka sisa kredit akan tetap ada di akun saya.
Sebenarnya ada juga pilihan utnuk dikembalikan secara transfer bank, tapi proses ini akan memakan waktu sangat lama. Kalau tidak salah dengar, paling cepat mungkin dalam jangka waktu 6 (enam) bulan.
“Kalau tidak terbang dalam jangka waktu 2 (dua) tahun ke depan, lalu buat apa kredit akunnya?”
Ya, mungkin pembelian nanti bukan untuk saya. Saya juga belum pastikan, apakah kredit akun bisa digunakan untuk layanan pembelian lain di situs AirAsia.com misal pemesanan hotel, atau pembelian jasa lainnya. Kalau bisa, ya mungkin bisa nanti digunakan untuk ini.
Saat saya menulis ini, kredit akun memang belum ditambahkan, tapi bagaimana AirAsia Indonesia menyelesaikan kondisi ini, saya rasa layak untuk diapresiasi.
Walau pandemik belum berlalu tapi kita bersyukur bahwa kita termasuk negara yang mampu mengelola tantangan ini, penanganan kesehatan yang bisa dikendalikan dengan terus meningkatkan kewaspadaan dan pertumbuhan ekonomi yang sudah naik kembali sejak kuartal 3 lalu meski dalam kondisi minus.
Tahun 2020 yang baru saja kita lalui benar-benar menguji ketangguhan kita, menguji keuletan sebagai bangsa besar ujian yang tidak mudah, sebuah ujian yang sangat sulit pandemik COVID-19 telah mengakibatkan krisis kesehatan dan krisis ekonomi di seluruh dunia
Presiden Jowo Widodo, di Istana Kepresidenan Bogor, Minggu (10 Januari 2021), di hadapan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-48 PDIP
Kita ini kalau saya lihat alhamdulillah masih beruntung tidak sampai lockdown, kalau di negara lain kayak di eropa itu lockdown dan tidak hanya sebentar. Nggak hanya sebulan tapi bisa sampai tiga bulan, bahkan tiga hari yang lalu di London, Inggris lockdown lagi, Bangkok lockdown, Tokyo statusnya darurat.
Kita di sini meskipun dibatasi dengan protokol kesehatan yang ketat, tetapi masih bisa beraktivitas dan menjalankan usaha
Jokowi dalam acara penyaluran Bantuan Modal Kerja kepada pelaku UMKM di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Jumat (8/1/2021) (Sumber: Bisnis.com)
Pernyataan yang dilontarkan, ketika ada beberapa kondisi yang jika merujuk kepada angka dan statistik penanganan COVID-19 belum juga terlihat ada keberhasilan yang dibanggakan. Di hari pernyataan tersebut dilontarkan yaitu Jumat, 8 Januari 2021 statistik hari sebelumnya (Kamis, 7 Januari 2021) ada 9.231 kasus positif di Indonesia.
Kalau “tidak lockdown padahal negara lain yang meakukan lockdown, melakukan penanganan pandemi COVID-19, dan terbukti berhasil menekan angka penambahan kasus aktif” adalah sebuah prestasi… ya, bagaimana lagi. Menentukan dan melihat parameter keberhasilan atau prioritas memang bisa berbeda-beda.
Publik perlu tahu. Publik berhak tahu. Itu pikir saya.
Tapi ternyata, keadaan berkata lain. Jabatan Menteri Kesehatan sudah diisi dengan sosok baru, Budi Gunadi Sadikin. Jujur saja, awalnya saya berpikir ini bagaimana Menteri Kesehatan kok bukan/tidak memiliki latar belakang dunia kedokteran atau kesehatan masyarakat. Tapi, pemikiran saya tidak bertahan lama setelah ternyata banyak negara yang memiliki menteri kesehatan bukan dengan latar belakang kedokteran.
Dan, kinerja mereka sudah cukup membuktikan bahwa hal seperti ini bisa berhasil. Belum tentu pasti gagal, tapi bisa saja menteri memiliki performa yang lebih baik. Toh, pada akhirnya bagaimana menteri dapat mengorkestra dan bersinergi untuk tujuan utama yang ingin dicapai, menjadikan kerja bersama untuk mencapai keberhasilan bersama/kolektif?
Kembali ke bagaimana Pak Budi Gunadi Sadikin menjawab begitu banyak pertanyaan yang terwakilkan di program Mata Najwa hari Rabu lalu. Saya secara pribadi seperti mendapatkan pemahaman, pengertian, dan informasi yang cukup mencerahkan. Saya juga paham, ini bukan sebuah kerja ringan. Tapi, bagaimana pertanyaan dijawab dan direspon, termasuk bahwa dikatakan jika memang tidak/kurang tahu, ada sebuah harapan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin
Yang saya jelas tangkap, bagaimana semuanya dikomunikasikan kepada publik oleh Kementerian Kesehatan melalui acara Mata Najwa kemarin perlu untuk diapresiasi.
Walaupun sebaiknya memang tidak perlu membandingkan, tapi sulit untuk tidak membandingkan bagaimana model komunikasi Budi Gunadi Sadikin dan Pak Terawan. Kalau melihat bagaiman pernyataan atau hal-hal dikomunikasikan atau dikomentari oleh Pak Terawan, arsip di internet dan media sudah sangat banyak.
Untuk video wawancara Menteri Kesehatan di Mata Najwa hari Rabu lalu, bisa dilihat di kanal YouTube. Berikut tautan seluruh episodenya.
Secara total, kita membutuhkan waktu 15 bulan, mulai Januari 2021 hingga Maret 2022, untuk menuntaskan program vaksinasi COVID-19 di 34 provinsi dan mencapai total populasi sebesar 181,5 juta orang
dr Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes (Sumber: kumparan)
Mengutip kumparan:
Nadia menjelaskan, pemberian vaksin corona selama 15 bulan ini terdiri dari 2 periode. Periode pertama yaitu Januari hingga April 2021. Pada periode ini prioritas penerima vaksin adalah 1,3 juta tenaga kesehatan dan 17,4 juta petugas publik yang ada di 34 provinsi. Kemudian, periode kedua berlangsung selama 11 bulan yaitu April 2021 hingga Maret 2022. Penerima vaksin adalah sisa masyarakat yang belum divaksin pada periode pertama.
Kemenkes: Vaksinasi Corona untuk 181 Juta Warga Hanya 15 Bulan, Bukan 3,5 Tahun
Melalui surat Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2020, hari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada Rabu, 9 Desember 2020 ditetapkan sebagai hari libur nasional. Yang pasti, per akhir November 2020, peningkatan jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia justru mengalami penambahan yang menjadikan jumlah kasus harian mencapai puncaknya.
Menetapkan hari Rabu tanggal 9 Desember 2020 sebagai hari libur nasional dalam rangka pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak.
Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2O2O tentnag HARI PEMUNGUTAN SUARA PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA TAHUN 2O2O SEBAGAT HARI LIBUR NASIONAL
Karena merupakan hari libur nasional, jadi daerah yang tidak melaksanakan pilkada juga tetap akan mendapatkan hari libur. Dan, pandemi tentu saja tidak mengenal libur.
Sesampai di Jakarta pada hari Minggu lalu, saya baru menyadari bahwa ada masalah di iPad saya. Ketika saya buka, ada tulisan “iPad is disabled. Connect to iTunes”. Padahal, seingat saya terakhir kali, iPad tidak ada masalah sama sekali. Kali terakhir adalah malam sebelum saya berangkat ke Jakarta, saya tutup iPad saya bersama dengan Smart Keyboard Folio, lalu saya masukkan tas.
Barulah ketika saya sampai di Jakarta, dan sudah agak malam, saya baru membuka kembali iPad saya. Bukan saat yang tepat untuk mengalami masalah ini, apalagi saya sedang berada di Jakarta.
Penyebab
Saya tidak tahu pasti apa penyebabnya, tapi kemungkinan besar adalah karena terlalu sering terjadi kesalahan passcode. Ini paling masuk akal, dan ada dua kemungkinan kenapa ada pengisian passcode yang salah dalam frekuensi yang banyak — kalau sampai 10 kali berturut-turut, memang iPad akan dalam kondisi disabled untuk alasan keamanan.
Pertama, bisa jadi karena anak saya sempat bermain dengan iPad. Jadi, tanpa sepengetahuan saya sempat memencet papan ketik dan memasukkan passcode yang salah sampai akhirnya iPad disabled. Kemungkinan kedua, bisa jadi karena selama di dalam tas, ada kondisi iPad yang ada dalam tas terguncang. Ya, karena saya memang mengendari mobil, dan tas berisi iPad tersebut saya letakkan di bagasi.
Intinya: iPad tidak bisa dipakai, dan sesegera mungkin masalah ini diatasi.
Terhubung ke iTunes?
Sebenarnya, menghubungkan perangkat seperti iPad atau iPhone ke MacBook yang saya miliki tidak ada masalah selama ini. Masalahnya saat ini adalah, iPad saya menggunakan konektor USB Type-C, sedangkan Macbook saya masih menggunakan USB biasa. Apalagi, sejak kali pertama saya beli, saya memang belum pernah mengkoneksikan iPad ke MacBook dengan kabel.
Saya sempat mencoba kemungkinan untuk pinjam kabel supaya iPad saya dapat terhubung ke MacBook. Tapi, ini juga bukan perkara mudah. Apalagi, selama ini tidak semua aksesories non-Apple bisa berjalan begitu saja. Beberapa teman menawarkan untuk meminjamkan kabel USB ke USB Type-C. Tapi, setelah saya pikir-pikir, sepertinya kecil kemungkinan untuk berhasil.
Dan, salah seorang teman saya juga bilang kalau solusinya ya memang cuma harus restore atau instal ulang. Pilihan saya jelas instal ulang, karena saya memang tidak pernah melakukan backup ke MacBook. Tapi, karena hampir semua berkas sudah tersinkronisasi ke beberapa layanan berbasis awan, jadi saya tidak terlalu khawatir.
Instal Ulang
Saya segera cari dimana lokasi saya bisa melakukan instal ulang iPad saya keeseokan harinya, sepagi mungkin. Saya lihat opsinya ada di Plaza Indonesia atau Grand Indonesia.
Senin pagi, akhirnya saya meluncur ke Plaza Indonesia terlebih dahulu. Setelah memarkir kendaraan di basement, saya menuju ke pintu masuk dari arah tempat parkir. Saat itu waktu menunjukkan pukul 10 pagi, lebih sedikit. Saya pikir sudah buka. Ternyata, satpam bilang belum buka kalau mau ke salah satu service center yang saya sebutkan. Saya diminta datang saja nanti pukul 11.00 WIB. Duh!
Saya coba ke Grand Indonesia, dan hasilnya kurang lebih sama. Karena tidak banyak lokasi lain yang saya ketahui, akhirnya saya putuskan ke Ratu Plaza. Kali terakhir ke sana dulu untuk urusan servis MacBook. Jadi siapa tahu disana sudah buka.
Sekitar 10.30 WIB, saya sampai sana. Gerai servis yang saya ingin tuju ternyata belum buka. Saya lihat dari luar sepertinya masih bersiap, dan memang tertulis baru buka pukul 11.00 WIB. Ada juga gerai servis produk Apple yang lain, tapi namanya bagi saya kurang familiar. Tapi, dari secara tampilan sangat meyakinkan. Dan, yang paling penting adalah gerai tersebut sudah buka!
Jadilah saya putuskan ke gerai tersebut. Saya langsung sampaikan apa mau saya, dan untuk dapat diproses instal ulang saja. Setelah pencatatan pemesanan layanan, saya diinfokan mungkin sekitar 30-45 menit saja. Bisa ditunggu, atau ditinggal kalau sudah selesai saya akan dikabari.
Saya memilih untuk berjalan-jalan saja sebentar di area Ratu Plaza. Tidak banyak yang bisa dilihat, tapi ya daripada saya hanya menunggu saja. Benar saja, sekitar 30 menit setelahnya saya dihubungi oleh gerai tersebut, yang menginfokan kalau proses telah selesai dan iPad dapat diambil. Oh ya, untuk biayanya sebesar Rp150.000,-. Harga yang oke juga menurut saya.
Masih di lokasi gerai tersebut, saya juga menumpang untuk mengunduh aplikasi-aplikasi yang saya butuhkan di iPad saya tersebut. Beruntung, koneksi yang ada di sana cukup kencang, jadi hanya beberapa menit saja saya mengunduh aplikasi yang sebelumnya ada di iPad saya. Setelah saya rasa cukup, akhirnya saya kembali ke tempat saya menginap, melewati Jalan Sudirman menjelang jam makan siang.
Mengapa tidak naik pesawat atau kereta saja? Bukankah lebih praktis (dan lebih murah)?
Beruntung, saya tinggal di Yogyakarta, dan rute tujuan perjalanan saya semua masih ada di pulau yang sama, punya beberapa pilihan moda transportasi. Sempat memang terpikir untuk memilih antara pesawat, atau bahkan kereta api. Dua moda transportasi yang paling saya sering gunakan kalau bepergian dari Yogyakarta ke Jakarta (dan sebaliknya).
Barang Bawaan
Perjalanan kemarin, saya berencana akan ada di Jakarta selama sekitar lima hari. Artinya, bawaan saya jelas akan jauh lebih banyak — soal baju saja sudah pasti jumlah jauh berbeda karena selama masa pandemi jadi lebih sering ganti baju. Belum lagi bawaan selain baju seperti laptop yang biasanya saya bawa dalam tas punggung saya.
Dengan banyaknya barang bawaan, otomatis akan berpengaruh terhadap cara mobilitas saya. Saya sempat membayangkan bagaimana bawaan saya harus berpisah sementara ketika saya menggunakan pesawat terbang. Membawa cukup banyak barang bawaan ketika ke Stasiun Tugu atau meninggalkan Stasiun Gambir, sudah terbayang repotnya.
Kalau saya naik pesawat, jelas koper saya harus masuk bagasi — apalagi saya akhirnya membawa dua buah koper dalam ukuran medium. Dan, mungkin bisa jadi saya over baggage.
Soal barang bawaan, kali ini pertimbangan saya adalah saya tidak mau terlalu repot membawa, dan saya mengusahakan sebisa mungkin saya berpisah dengan barang bawaan saya.
Kalau mau yang lebih murah, saya bisa menggunakan Damri yang lokasi keberangkatan dari salah satu mal di Sleman, tidak terlalu jauh dari rumah. Dan, dari rumah saya tetap harus menggunakan GrabCar atau GoCar.
Untuk ke Jakarta, saya juga perlu untuk memilih maskapai apa yang perlu saya gunakan. Pilihan saya sempitkan kepada dua maskapai: Citilink Indonesia dan Garuda Indonesia. Dan, saya tidak terlalu nyaman dengan jadwal penerbangan yang ada. Apalagi, tidak semua jadwal memberlakukan seat distancing dalam pengaturan kursinya.
Belum lagi bahwa saya harus berada di bandara jauh lebih awal. Ditambah dengan jauhnya jarak ke bandara YIA, paling tidak mungkin saya harus berangkat empat jam lebih awal. Misal saya ambil perjalanan pukul 14.40 WIB, mungkin sekitar pukul 11.00 WIB saya sudah harus meninggalkan rumah. Bahkan, bisa lebih awal kalau saya menggunakan Damri, karena saya tidak dapat memastikan jam berapa Damri akan berangkat.
Kalau saya sudah mendarat di Jakarta, berarti saya masih harus berurusan dengan pengambilan bagasi, keluar bandara, mencari transportasi ke arah Jakarta. Yang, biasanya ini juga memakan waktu yang tidak sedikit.
Soal kereta, sepertinya saya sudah tidak terlalu jadikan opsi sejak awal.
Yang pasti, dari semua pilihan yang ada, saya harus menyesuaikan jadwal. Belum lagi terkait dengan kebutuhan bahwa saya harus membawa dokumen hasil pemeriksaan (rapid test).
Dengan segala pertimbangan ini, perjalanan dengan kendaraan pribadi jadi makin masuk akal. Nah, “masalahnya” adalah: saya belum pernah sekalipun ke Jakarta naik mobil sendirian.
Persiapan dan Biaya
Selain meyakinkan diri sendiri bahwa naik kendaraan pribadi adalah pilihan terbaik, saya juga harus memastikan bahwa perjalanan saya akan aman, kendaraan yang saya gunakan juga dalam kondisi baik. Beruntung, baru sekitar tiga bulan lalu, saya mengganti ban depan mobil saya. Pertengahan Oktober lalu, kendaraan juga melakukan servis berkala. Dan, karena menggunakan kendaran sendiri, jadi mungkin sudah lebih ‘mengenal’ kendaraan ini seperti apa.
Soal rute, saya sempat tanya ke beberapa rekan dan saudara saya. Intinya: lewat tol saja, aman, cepat, dan seharusnya penunjuk jalan pasti jelas. Kalau sudah masuk ke Jakarta, apalagi saya akan melewati rute yang cukup familiar, harusnya tidak masalah sama sekali.
Mengenai biaya, untuk perjalanan dari Yogyakarta dan Jakarta kemarin saya habis sekitar Rp800.000,- untuk tol dan bahan bakar kendaraan saya (Mobilio). Di rest area saya tidak mengeluarkan biaya apapun, karena untuk makanan kebetualan saya sudah membawa bekal yang cukup lengkap, termasuk makanan kecil dan minuman. Biaya ini jumlahnya mungkin cukup besar, apalagi saya cuma perjalanan seorang diri. Jika mungkin berbarengan dua atau tiga orang, pastinya akan jauh lebih hemat.
Namun, jika dihitung saya menggunakan pesawat terbang ke Jakarta, apalagi hari Minggu, kurang lebih biaya untuk perbandingan adalah sebagai berikut:
Transportasi ke YIA: Rp200.000,- (asumsi pakai GrabCar/GoCar)
Taksi dari Bandara Soekarno-Hatta (CGK) ke Jakarta, termasuk tol: Rp180.000,-
Kalau ditotal, sekitar Rp1.180.000,-. Jadi, dengan kendaraan pribadi masih bisa sedikit lebih murah. Apakah cukup melelahkan perjalanan? Yang saya rasakan sih tidak begitu melelahkan. Karena justru bisa lebih fleksibel untuk istirahat.
Selama pandemi, salah satu tempat publik (tertutup) yang sering saya kunjungi adalah supermarket untuk keperluan berlanja, baik yang lokasinya berdiri sendiri atau menjadi satu dengan area lain seperti yang ada di dalam mall.
Khusus untuk area seperti hotel, saya hampir tidak pernah mengunjungi. Apalagi selama pandemi ini saya juga tidak pernah melakukan perjalanan ke luar kota, yang mengharuskan saya harus menginap di hotel. Setelah berbulan, dengan berbagai perkembangan, pelaku bisnis sudah banyak melakukan adaptasi kebiasan baru — saya lebih suka istilah “kebiasaan baru” dibandingkan dengan new normal sebenarnya.
Hotel sebagai salah satu komponen penting dalam dunia pariwisata juga melakukan adaptasi. Tentu, ini tidak mudah, tapi kalau tidak beradaptasi, mau jadi apa?
Karena sebuah keperluan, beberapa hari lalu saya mengunjungi Prime Plaza Hotel Jogjakarta, sebuah hotel bintang 4 yang ada di Jl. Affandi. Sudah sangat lama sejak terakhir kali saya menginap di tempat ini. Dan, kunjungan terakhir saya kesana kalau tidak salah tahun lalu, sebelum pandemi untuk sebuah acara yang saat itu hanya memakai lokasi resto saja.
Walaupun tidak sampai menginap, tapi karena kunjungan kemarin saya jadi sedikit menyempatkan untuk melihat bagaimana protokol kesehatan berjalan di hotel ini.
Ketika memasuki area pintu masuk utama, langsung disambut dengan informasi yang terpampang cukup jelas mengenai beberapa protokol kesehatan yang perlu ditaati oleh setiap penunjung. Ada juga automatic dispenser hand sanitizer, yang bisa digunakan secara contactless. Terakhir, ada QR Code yang perlu dipindai yang setelah saya coba, isinya adalah tautan untuk mengisi beberapa data terkait kedatangan.
Hal ini untuk mempermudah perncatatan siapa saja yang masuk ke area hotel, yang tentu saja akan nantinya bermanfaat untuk melakukan contact tracing jika diperlukan. Walaupun, semoga saja tidak perlu ada contact tracing ya… Persis sebelum masuk pintu, ada screening pengecekan suhu tubuh.
Oh ya, kenapa tidak ada tempat cuci tangan secara langsung, ya hal semacam ini selain memenuhi protokol juga secara estetika lebih baik.
Setelah melewati pintu masuk utama lalu belok ke kanan, ada lokasi resepsionis. Selain ada cairan pembersih tangan, alat tulis yang akan digunakan oleh tamu sudah dipisahkan antara yang bersih dan yang yang telah dipakai. Jadi langsung dipisahkan. Jadi, setiap alat tulis yang dipakai otomatis memang selalu dibersihkan. Ini cocok karena alat tulis, selama pengalaman saya check-in di hotel merupakan salah satu benda yang paling sering dipakai bergantian.
Masih di area resepsionis, ada informasi lain bagi tamu terkait beberapa persyaratan/protokol bepergian dengan menggunakan transportasi publik. Selain itu, ada lagi juga QR Code lain yang ternyata isinya mengarahkan ke laman untuk mengisi informasi riwayat perjalanan oleh tamu yang akan menginap. Sedikit berbeda dengan yang ada di pintu masuk, karena ketika sudah di resepsionis, besar kemungkinan yang adalah tamu yang menginap. Jadi, formulir ini lebih spesifik untuk tamu menginap.
Sofa tempat duduk yang ada di area lobi juga diubah pengaturannya, sehingga konsep social distancing atau jaga jarak bisa lebih mudah terpenuhi.
Walaupun posisi sudah berjauhan, tapi pengaturan supaya yang duduk tidak berhadapan layak untuk diapresiasi
Pengaturan jaga jarak untuk area sofa yang ukuran lebih besar.
Secara umum, walaupun memang cuma sebentar, bahkan tidak sampai melihat-lihat jauh ke area dalam seperti kolam renang, area gym, dan fasilitas lain, tapi saya cukup nyaman berada disana. Suasana berbeda mungkin bisa terjadi kalau tamu penuh. Tapi, menurut saya hotel merupakan salah satu tempat dimana layanan menjadi yang utama. Jadi, pengaturan dan protokol pasti akan sebaik dan sebisa mungkin untuk dilaksanakan.
Catatan
Walaupun secara umum saya merasa nyaman dan aman ketika berada di sana, ada beberapa detil kecil yang menurut saya pribadi mungkin bisa menjadi catatan. Tentu, ini pendapat pribadi saja.
Informasi jika ditampilkan dengan bahasa Indonesia mungkin akan lebih mudah dipahami oleh pengunjung. Faktanya, dalam kondisi saat ini mungkin pengunung atau tamu hotel mayoritas merupakan tamu lokal/domestik. Atau jika memang harus dua bahasa, terjemahan dalam Bahasa Inggris tetap bisa ditampilkan, tapi bahasa Indonesia tetap yang utama.
Karena saya memang benar-benar hanya berada di seputar area lobby, jadi yang saya lihat memang tidak banyak seperti bagaimana tempat publik seperti di kolam renang, atau pusat kebugaran, termasuk apakah ada perubahan atau tidak tentang kondisi kamar. Tapi, melihat dari bagaimana semuanya terlihat di area depan, sepertinya standar protokol kebersihan jelas menjadi perhatian khusus.
Video protokol keamanan dan standar kesehatan bisa juga diliaht melalui video di bawah ini. Dalam video ini juga terlihat kalau untuk sterilisasi kamar juga menggunakan lampu UV-C.
Kontak dan Lokasi
Karena berada di tengah kota dan di salah satu jalan utama di Jogjakarta, hotel ini dapat dengan mudah ditemukan. Akses masuk kendaraan juga sangat mudah.
Sejak perubahan status Gunung Merapi menjadi Siaga (Level III) minggu lalu, kalau dari tempat tinggal saya masih terlihat aman saja. Saya secara acak juga mengecek live streaming Gunung Merapi juga masih terpantau tidak ada yang mengkhawatirkan. Semoga tidak.
Namun, ini karena mungkin area tempat tinggal saya masih masuk dalam jarak yang cukup aman. Dari informasi warga di perumahan, di tahun 2010 lalu, memang kawasan perumahan tempat tinggal terkena dampak dari abu vulkanik, walaupun tidak parah. Saat ini sudah ada beberapa diskusi singkat yang menyarankan sebaiknya juga bersiap untuk bahan seperti plasti untuk menutup lobang angin atau ventilasi udara biar aman.
“Kebetulan”, tempat tinggal saya memang menghadap ke arah utara, ke arah Gunung Merapi. Jadi kalau angin berhembus dari arah utara (ke arah selatan), memang sudah pasti akan melewati kawasan perumahan.
Peta Kawasan Rawan Bahaya (KRB) Gunung Merapi, zona terlarang saat ini dan prakiraan area landaan awan panas dalam status Siaga (Level III) sejak diberlakukan pada 5 November 2020. Dapat dibuka dengan aplikasi pemetaan seperti Google Maps. Aktifkan GPS di gawai pintar anda untuk mengetahui posisinya terhadap kawasan rawan bencana Gunung Merapi.
Sumber peta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta Balai Penelitian dan Pengembangan Teknik Kebencanaan Geologi (BPPTKG) pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia.
Narasi oleh Kelompok Studi Kawasan Merapi (KSKM).
Sumber: Deskripsi Peta Kawasan Rawan Bahaya (KRB) Gunung Merapi.
Hari ini, banyak beredar berkas informasi mengenai perubahan status Gunung Merapi dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III) yang berlaku mulai 5 November 2020 pukul 12.00 WIB.
Saya baru tahu informasinya sore hari, tapi menjelang siang tadi memang yang saya rasakan — karena berada di luar rumah — cuaca terasa panas sekali. Ya, biasanya memang panas dan agak mendung, bahkan sering hujan, tapi pagi ini, panasnya terasa berbeda dari biasanya. Bukan seperti panas matahari yang terik.
Saya tidak tahu pasti memang ada hubungan dengan peningkatan aktivitas Gunung Merapi atau tidak, tapi hari ini memang cuaca di Yogyakarta memang panas.
Berdasarkan rekomendasi dari surat edaran tersebut, perkiraan daerah yang dalam status bahaya antara lain:
Untuk Provinsi DIY, ada di Kabupaten Sleman, Kecamatan Cangkringan yaitu Dusun Kalitengah Lor di Desa Glagaharjo, Dusun Kaliadem di Desa Kepuharjo, dan Dusun Pelemsari di Desa Umbulharjo.
Untuk Provinsi Jawa Tengah, ada di:
Kabupaten Magelang, Kecamatan Dukun yaitu Dusun Batu Ngisor, Gemer, Ngandong, Karanganyar (Desa Ngargomulyo), Dusun Trayem, Pugeran, Trono (Desa Krinjing) Dusun Babadan 1 dan Babadan 2 (Desa Paten)
Kabupaten Boyolali, Kecamatan Selo yaitu Dusun Stabelan, Takeran, Belang (Des Tlogolele), Dusun Sumber, Bakalan, Bangunsari, Klakah Nduwur (Desa Klakah), dan Dusun Jarak, Sepi (Desa Jrakah)
Kabupaten Klaten, Kecamatan Kemalang yaitu Dusun Pajekan, Canguk, Sumur (Desa Tegal Mulyo), Dusun Petung, Kembangan, Deles (Desa Sidorejo) dan Dusun Sambungrejo, Ngipiksari, Gondang (Desa Balerante)
Pemandangan Gunung Merapi, 3 November 2020, sekitar pukul 08.00 WIB
Saya kebetulan tinggal di daerah yang dapat melihat Gunung Merapi dengan cukup jelas — tentu saja kalau tidak tertutup mendung. Tapi, kalau benar nanti aktivitas meningkat dan area sisi selatan Gunung Merapi terkena dampaknya, sepertinya ini akan menjadi pengalaman pertama. Seberapa dekat dengan Gunung Merapi, baru akhir bulan lalu saya mampir ke kawasan tersebut — ya walaupun “cuma” ke Telogo Putri.
Live Streaming Gunung Merapi
“Gara-gara” ini juga, hari ini saya baru tahu ada live streming Gunung Merapi di YouTube. Saya tidak terlalu tahu siapa yang mengelola, namun saya yakin ini live streaming yang jelas bermanfaat. Salut untuk yang menginisiasi ini!
Saya sama sekali tidak tahu bagiamana membaca visiual atau data yang ada, tapi dari deskripsi di videonya, ada informasi yang cukup bermanfaat:
Perhatikan Grafik Seismograf pada 4 Stasiun (PUS,KLS,PAS,LAB) jika ada tanda merah/naik/ada suara beep yang muncul secara bersama di 4 stasiun itu artinya merapi sedang melakukan “sesuatu”, sesuatu ini bisa bermacan mulai dari gempa dalam, gempa hybird, atau guguran untuk lebih lengkapnya tanya sama petugas.
Jika Grafik (IMO,MBMBB,UGM) yang hanya bertanda merah/grafik naik tapi TIDAK untuk Stasiun (PUS, KLS, PAS, LAB) artinya sedang terjadi Gempa Tektonik di sekitar Laut Jawa atau bisa juga Gempa yang sangat jauh seperti Fiji, Alaska, Japan, Filipina karena itu muncul di 2Hz – 3Hz
Aktivitas Merapi biasanya lebih sering aktif di 4Hz sampai 10Hz jadi selain itu bisa saja noise.
Jika hanya muncul di Satu Stasiun itu artinya sedang ada noise atau bisa juga petir,banjir,atau getaran yang hanya terjadi di sekitar stasiun tersebut.
Jika kalian melihat cahaya glow di kawah merapi itu normal bagi gunung yang aktif tapi jika glownya termasuk besar artinya sedang terjadi “sesuatu”
Selain Gunung Merapi, silakan kunjungi volcanoyt.com untuk melihat kontribusi lainnya. Kudos untuk kreator dan yang merawat situs dan live streaming tersebut!