Sumbangan dan Sedekah

Sudah bukan hal yang aneh sih sebenarnya didatangi orang yang meminta sumbangan dengan berbagai macam motif dan alasan keperluan. Tapi ada satu kesamaan: mengetuk dan menggelitik sifat manusia yang bernama “keinginan untuk membantu” dan “belas kasihan”.

Saya bukan orang kaya yang bisa memberikan sumbangan. Dan, kadang saya tidak keberatan dan senang hati untuk membantu sesuai dengan kemampuan saya. Membantu orang lain yang seharusnya menjadi sebuah hal baik kadang malah justru berakibat sebaliknya bagi saya. Saya kadang bukannya senang, tapi justru ngomel, tidak terima, dan lain-lainnya.

Give Me Your Hand

Awal bulan lalu, ketika sedang duduk-duduk disebuah tempat umum, tiba-tiba saja didatangi oleh seorang ibu yang membawa anaknya. Meminta seiklhasnya dengan alasan untuk beli susu. Jujur saja, walaupun akhirnya memberi, tapi rasanya bukannya dengan niat ingin menolong, tapi supaya segera pergi. Jahat? Mungkin iya. Tapi, saat itu saya cuma ingin duduk, santai, dan istirahat. Cuma itu kemewahan yang saya inginkan saat itu. Ada sih perasaan bersalah, tapi disaat yang sama saya juga ingin sebuah hal yang sederhana yang ingin saya lakukan. Untuk saya. Itu saja.

Lain lagi yang terjadi minggu lalu. Ketika sedang bekerja dengan konsentrasi tiba-tiba saja ada orang datang — lagi-lagi minta sumbangan. Alasannya? Untuk sumbangan suporter yang mau mendukung laga Tim Nasional Indonesia di Jakarta! Bingung? Sama! Mungkin sedang kehabisan ide.

Ini aneh, saya coba iseng untuk sedikit tanya-tanya, dan tetap jawabannya tidak jelas. Oh ya, pengen tahu cara minta sumbangannya? Jual dua buah stiker dengan membeli seiklhasnya. Motif seperti ini cukup sering saya rasa.

Dan, stiker yang “dijual” juga berkualitas rendah dengan bahan seperti kertas dengan kualitas cetak apa adanya.

Huh!

Pernah saya mengalami “beli stiker untuk menyumbang” ini beberapa kali. Ada juga yang mirip, yaitu jual kantong untuk kertas meteran listrik. Ada lagi jual untuk obat pencegah penularan nyamuk demam berdarah. Ketika ditanya soal berapa harus menyumbang, jawabannya sama: terserah.

Dan, yang terakhir adalah kemarin. Agak sore ketika sedang bekerja, ada seorang perempuan paruh baya. Saya kira tamu, ternyata bukan. Saya tanya ada apa, dia diam saja. Agak binung pertama. Selanjutnya dia menyerahkan kertas. Saya baca baris pertama tertulis kurang lebih menjelaskan bahwa dia tuna rungu dan tuna wicara. Apakah reaksi saat itu adalah saya merasa iba? Bukan. Saya justru merasa sebal. Entah kenapa. Antara ingin bantu dan dengan situasi yang tidak mengenakkan.

Arrgghhhh!

Entahlah besok ada apa lagi…