Kemana Kau Mengayuh Becakmu?

Saya tidak ingat pasti, kapan terakhir kali saya bertegur sapa dengan bapak (atau mungkin eyang) penarik becak yang sering mangkal di gang masuk tempat tinggal saya. Ketika masuk gang ke rumah, hampir tak mungkin untuk tidak bertemu jika beliau sedang mangkal menunggu penumpang, atau mungkin beristirahat.

bck182017241

Saya tidak tahu dimana beliau tinggal. Bahkan, namapun saya juga tidak pernah tahu. Yang saya tahu, di usia yang menurut saya sudah harus beristirahat, beliau memilih untuk tetap bergerak, mengayuh becak yang entah miliknya, atau sekadar menyewa saja.

Tidak ingin dikasihani, itu sudah pasti. Jadi, sering kali saya berbagi sedikit rejeki dengan beliau dengan minta mengantarkan saya ke suatu tempat, pergi pulang. Karena, cukup sering saya melihat becaknya hanya berdiam di bawah pohon yang tak begitu tinggi, di pinggir jalan.

Pernah suatu kali, ketika saya sedang ingin membeli makan siang yang agak terlambat karena sudah menjelang sore, saya ajak beliau untuk menemani saya makan. Namun, beliau menolak dengan halus, “mboten sah, saking enjang dhereng narik” (tidak usah, dari pagi belum narik).

Rasanya sesak.

Setelah makan, saya paksa beliau untuk menerima nasi dan minuman yang saya bungkus. Saya tidak ingin berbicara terlalu lama. Berikan sesegera mungkin. Itu saja.

Ketika dua kali saya sedikit berbagi rejeki saat Lebaran, beliau menerima dengan senang hati. Pandangan matanya sepertinya tidak cukup lihai untuk berbohong.

Kini, sudah beberapa bulan saya hampir tidak pernah melihatnya lagi. Mungkin karena saya sering berangkat lebih pagi atau pulang larut malam. Semoga karena ini.

Semoga beliau baik-baik saja. Semoga dia mangkal di tempat yang lebih ramai, dengan rejeki yang lebih baik.