Isu Tsunami dan Kepanikan Gempa Jogja 2006

Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya: Sekelumit Cerita Setelah Gempa Bantul/Jogja tahun 2006.

Entah dari mana isu adanya tsunami berawal. Yang pasti, rumor tentang adanya tsunami ini benar-benar membuat suasana menjadi sangat kacau. Ada sempat keraguan bahwa tsunami benar-benar terjadi. Tapi, keadaan panik mengalahkan akal sehat saya, dan mungkin ratusan (atau bahkan ribuan) orang yang saat itu juga sedang sangat panik. Dari arah selatan, kendaraan melaju kencang. Motor, mobil bahkan truk dengan lampu menyala bergerak cepat ke utara. Saat sampai di perempatan jalan utama, ada dua orang polisi lalu lintas yang sedang mengatur arus kendaraan.

Salah seorang polisi berusaha untuk menenangkan dengan menyebutkan bahwa tidak terjadi tsunami. Petugas yang satunya lari dari tengah jalan, menuju ke pos jaga. Entah ingin memberitahukan tentang kepanikan yang baru terjadi, atau ikut berusaha menyelamatkan diri, entahlah…

2006_tsu_1

Warga dan kendaraan yang semula hanya berdiri dan berhenti di pinggir jalan menjadi ikut panik dan segera melarikan kendaraan masing-masing. Yang kebetulan sedang berjalan, berusaha memberhentikan kendaran lain untuk bisa menumpang. Gambaran keadaan yang terjadi kurang lebih sama seperti yang terlihat di televisi beberapa saat setelah gempa.

Keadaan ini membuat jalanan menjadi semakin macet. Bersama dengan teman saya, kami memutuskan untuk menghentikan kendaraan menuju sebuah gereja di dekat kawasan Gondomanan. Sepakat bahwa seandainya memang terjadi, ya sudah siap mati. “Wis, nek mati yo wis mati wae…. (Dah, kalau mati ya sudah mati saja)”. Begitu kurang lebih kesepakatan kami. Saat masuk ke dalam wilayah gereja, saat itu saya melihat beberapa bagian dalam gereja ada yang mengalami kerusakan. Memang tidak banyak, hanya beberapa bagian atas bangunan yang jatuh ke lantai. Saat itu suasana cukup sepi. Ada seorang ibu-ibu yang sedang memberi makan anaknya yang masih kecil. Ada keraguan, apakah memberitahukan tentang rumor yang saat itu terjadi, atau diam saja supaya tidak menimbulkan kepanikan. Akhirnya, kami putuskan untuk diam saja, tidak memberitahu ibu tersebut.

Dalam keadaan yang sudah mulai tenang, barulah saya merasa kebelet ingin buang air kecil. Waduh! Saya tahu lokasi dimana kamar kecil berada, tapi lokasi ini cukup jauh dan untuk mencapainya saya harus melewati tembok-tembok, dengan resiko mengerikan kalau sampai terjadi gempa susulan. Saat itu saya benar-benar merasa takut. Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, saya coba menuju ke kamar kecil dengan secepat yang saya bisa. Sedikit berlari, buang air, dan kembali keluar secepatnya. Untunglah tidak terjadi apa-apa.

2006_tsu_2

Sepanjang perjalanan, kepanikan masih berlangsung. Warga yang berlarian menyelamatkan diri — sepertinya karena mendengar isu terjadinya tsunami — semakin banyak. Sempat terlihat ada sebuah mobil (kalau tidak salah dari SAR) dan salah satu orang (petugas) yang ada disitu berteriak mengabarkan kalau tidak ada tsunami. Dia berteriak sambil membawa alat komunikasi. Mungkin itu adalah alat komunikasi internal mereka sebagai medium pertukaran informasi. Ketika banyak sekali arus kendaran mengarah ke utara, saya sempat lihat salah mobil dari salah satu stasiun televisi bergerak melawan arus, menuju ke selatan.

Sesampainya dirumah, saya bersyukur karena sudah menjumpai keluarga saya yang dari Bantul dengan keadaan sehat dan selamat. Orang tua saya sempat menceritakan tentang kepanikan luar biasa yang terjadi di Bantul. Banyak warga yang lari menyelamatkan diri ke bukit (tempat lebih tinggi), ada yang menumpang kendaraan-kendaraan yang menuju arah kota (menjauh dari kota Bantul). Ketika saya tanya tentang kondisi rumah, mereka menjawab, “Ya ambruk…”

Setelah itu, kami berkumpul dirumah saja sambil saling bercerita tentang gempa yang baru saja terjadi. Dan, saya bersama dengan keluarga dan saudara berencana untuk melihat keadaan rumah di Bantul pada sore atau malam harinya. Kondisi rumah yang ada di Jogja kota sendiri hanya retak-retak dibeberapa bagian dinding.

2006_jog_1

(bersambung)


Comments

2 responses to “Isu Tsunami dan Kepanikan Gempa Jogja 2006”

  1. waktu gempa terjadi, saya tinggal di daerah Sanden (4km dari laut selatan). Disana kerusakan tidak begitu parah, lebih banyak rumah yang bediri. Jadi kalau dari rumah Plered ke Sanden rasanya seperti di daerah Asing, di Plered pada hancur di Sanden adem ayem. Baru ngeh ada isu Tsunami saat ada teman sms, katanya tsunami sudah sampai Pleret. Habis di-sms baru sadar, kalo gempa itu bisa menimbulkan tsunami ya? :) Baru panik. Ibu dan adik saya yang di pleret pada ngungsi naik gunung. Simbah kakung yang kejatuhan blandar, pasrah ditemani simbah putri :(. Begitulah kenangan gempa

  2. Waluyo Wilky

     ada lagi kaga