(Berusaha) Berhenti Merokok

Sudah tiga minggu ini saya tidak menghisap sebatang rokok.

jkajsd91jdalskjdasd

Ya, saya mencoba untuk menantang — lebih tepatnya menerima tantangan — dari istri saya untuk tidak merokok selama 21 hari non-stop. Tidak mudah, tapi bisa. Dan, sepertinya akan dicoba untuk dilanjutkan, entah sampai berapa lama.

Mungkin tiga minggu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka — atau mungkin Anda — yang sudah berhenti merokok berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Tapi, selama apapun itu, paling tidak kita punya kesamaan: pernah melewati satu minggu pertama tanpa rokok.

Dengan atau tanpa teori?

“Mengubah kebiasaan itu tidak mudah.” Demikian teori umumnya. Dan, tidak mudah bukan berarti tidak mungkin.

Saya tidak terlalu banyak mencari referensi bacaan atau lainnya tentang bagaimana cara mengubah kebiasaan. Istri saya bilang kalau dia pernah baca bahwa kalau seseorang bisa melakukan/meninggalkan kebiasaan lama untuk memilik kebiasaan baru, maka kebiasaan baru itu dilakukan secara terus menerus selama 21 hari tanpa berhenti.

Belakangan setelah saya coba cari tahu, melakukan sesuatu selama 21 hari untuk menjadikan sebagia kebiasaan baru itu sebuah teori yang tidak sepenuhnya benar. Silakan baca artikel di Forbes yang berjudul “Habit Formation: 21-Day Myth”.

Ada pula sebuah penelitan lain yang mengatakan bahwa sebenarnya waktu yang dibutuhkan untuk membentuk kebiasaan bukan 21 hari, melainkan 2 bulan, atau lebih tepatnya 66 hari. Jika ingin tahu lebih lengkap, bisa baca artikel berjudul “How Long Does it Actually Take to Form a New Habit? (Backed by Science)” dan “How Long It Takes to Form a New Habit”.

Setelah membaca beberapa artikel tersebut, saya putuskan: gak usah terlalu pakai teori, lakukan saja! Toh, tantangan sudah cukup jelas: untuk tidak merokok.

Beberapa jam sebelum hari berganti, saya hisap dua batang rokok yang ada dalam bungkus. Setelah selesai, dimulailah tantangan yang sebenarnya. Sebenarnya saya terpikir untuk mengurangi misalnya hanya menghabiskan 1 atau 2 batang saja per hari. Namun, orang-orang dekat di sekeliling saya malah bilang kalau itu malah tambah susah. Jadi ya sudah: langsung saja.

Mengapa?

Kalau mau alasan yang sederhana, jawaban yang mungkin paling masuk akal adalah untuk hidup lebih sehat. Ya memang begitu kondisinya, namun ada beberapa alasan lain yang bagi saya tidak kalah penting:

  1. Produktivitas
  2. Pertimbangan ekonomi

Produktivitas

Saya merasa masuk dalam salah satu yang menggunakan “sebatang dulu” sebagai salah satu ukuran waktu. Walaupun, tidak selalu juga konteksnya untuk orang lain. Untuk diri sendiri juga kadang dipakai juga.

Kadang, justru produktivitas saya naik kalau sambil merokok. Saya bisa berjam-jam kerja di depan laptop saya diselingi dengan merokok. Dan, ini juga kadang berlaku untuk aktivitas lain. Masalahnya, semakin betah saya beraktivitas (karena rokok), otomatis makin banyak pula konsumsi rokoknya.

Di sisi lain, ketika bekerja saya juga kadang ada selingan untuk merokok. Misalnya bekerja di ruang ber-AC entah sendiri atau secara berkelompok. Bisa dikatakan juga ini membuang waktu, namun menurut saya juga tidak selalu berarti demikian. Bisa saja ketika sedang smoking break ini malah muncul hal-hal yang berkontribusi dalam hal pekerjaan.

Akhirnya walaupun juga lumayan berat saya ubah: paksakan dengan ritme yang sama cuma lakukan tanpa merokok.

Pertimbangan ekonomi

Saya tidak dalam kondisi kecanduan sampai memilih untuk membeli rokok daripada hal yang mungkin lebih penting. Jadi, secara ekonomi, membeli rokok tidak menjadi masalah. Cuma, ini memang bukan kondisi yang membenarkan bahwa merokok itu tidak masalah.

“Alasan ekonomi” yang saya maksud disini lebih kepada penghematan, atau sebut saja alokasi. Ini juga didasari dengan beberapa penghitungan sederhana. Kalau saya ambil rata-rata, saya menghabiskan satu bungkus rokok isi 16 batang seharga (sekitar) Rp 21.000,- per dua hari. Kadang bahkan bisa satu bungkus habis dalam satu hari, walaupun jarang.

Jadi, dengan matematika sederhana apabila kebiasaan ini dihentikan, maka ada potensi bisa dilakukan penghematan sekitar Rp 300.000,- sampai Rp 400.000,- per bulan. Jika ini dikonversi dengan pengeluaran lain, bisa kira-kira setara dengan:

  • 36 liter Pertamax — iya, kendaraan sehari-hari yang saya dan istri pakai menggunakan Pertamax;
  • 1 bulan berlangganan Biznet Home (25 Mbps) ditambah paket data internet di piranti bergerak;
  • Pulsa listrik prabayar sebesar 200 kWh yang bisa dihabiskan kurang lebih dalam 1,5-2 bulan;

Ada konversi lainnya, namun sepertinya beberapa konversi dengan matematika sederhana di atas lumayan untuk dijadikan alasan.

Sulit atau mudah?

Sulit? Tidak.

Tapi… sulit sekali!

Salah satu yang membuatnya jadi sulit adalah karena sudah menjadi kebiasaan dan adanya sensasi kenikmatan tersendiri — yang mungkin hanya dapat dipahami oleh mereka yang merokok, termasuk saya. Contohnya?

Setelah makan, dilanjutkan dengan menyalakan dan menghisap sebatang rokok. Ini seolah sudah satu paket. Ketika dalam periode mencoba berhenti merokok, pernah sewaktu makan siang dengan menu tongseng, saya melihat ada pengunjung yang setelah makan tongseng, minum segelas teh panas, dan mulai menyalakan rokok. Dan, waktu itu sedang hujan pula!

Glek.

Saat itu saya sampai bilang ke istri saya, “Duh, itu enak banget! Aku tahu banget itu enak banget rasanya….”. Istri saya pada akhirnya cuma senyum saja seolah dengan tatapan “Ya, kalau mau merokok ya sana…”. Untung saat itu, saya masih kuat. Kondisi yang mendukung adalah saat itu hujan, dan untuk mencari rokok sambil kehujanan bukan opsi.

Kondisi lain misalnya sedang mengobrol — dengan sesama perokok, sambil minum kopi atau teh, dan sukur-sukur ada makanan ringan…. hujan pula! Ini godaan menurut saya juga tidak kalah dahsyat, karena kalau ingin merokok, tinggal minta dan kecil kemungkinan tidak diberi.

Satu lagi contoh adalah ketika menunggu atau memiliki waktu senggang dan tidak ada aktivitas berarti yang bisa dilakukan. Misalnya, menunggu waktu meeting, nunggu di parkir dan pada akhirnya satuan waktu “sebatang dulu” menjadi sangat masuk akal.

Itu. Tidak. Mudah. Bagi. Saya.

Jadi, bagaimana?

Saya tidak ingin membuatnya terasa mudah, karena sebenarnya bagi saya memang tidak mudah. Seingat saya, tiga hari pertama adalah saat yang sangat sulit. Yang pasti, dukungan dari orang atau lingkungan jelas sangat membantu. Oh ya, menurut saya dukungan itu bisa juga diciptakan sendiri.

Misalnya, niat saya ini saya sampaikan ke beberapa teman dan orang terdekat. Tujuannya bukan untuk sombong atau gaya-gayaan, tapi supaya kalau ternyata gagal mereka bisa menjadi saksinya dan bisa puas mencela (kalau mau). Oh ya, pilih sekalian teman yang sering dijumpai. Haha!

Kalau dipikir-pikir mencoba lanjut beberapa minggu lagi sepertinya bisa…